05 Oktober 2007
Agama yang Rahmatan Lil Alamin Melalui Pendidikan agama yang membebaskan
Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru Agama SMA PIRI 1 Yogyakarta
Suatu ketika salah seorang siswa menyatakan kepada saya:
” Bu Tuhan-nya orang Kristen itu kok kayaknya lebih ramah, lebih bersahabat dan lebih wellcome ya Bu. Kenapa ya?. Kalo Gusti Alloh kita tuh kayaknya jauuuh banget, galak dan suka ngancem-ngancem ”
Saya diam sejenak karena terus terang saya belum siap menerima pertanyaan itu. Sayapun balik bertanya: Benarkah? Dari mana kamu bisa menyimpulkan itu?. Dia menjawab:” Saya diam diam kan sering juga memperhatikan ceramah rohani agama nasrani dan juga agama lain, kayaknya ga pernah ada ancaman; Tapi para da’i selain Aa’ Gym kayaknya serem deh.” Saya kejar terus dengan pertanyaan: apakah hal yang sama juga dirasakan juga oleh siswa lain. Sebagian mereka setuju dan sebagian besar menjawab tidak tahu.
Setelah saya mencoba melihat dan mrenungkannya, saya seolah tersadar tentang apa yang telah saya lakukan selama ini, berkaitan dengan fungsi dan peran saya sebagai guru agama. Jangan jangan ketika saya memperkenalkan Tuhan pada mereka juga tidak jauh berbeda? Kemudian saya jadi ingat waktu kecil saya ketika guru ngaji saya menggambarkan shirothol Mustaqiim (jalan yang lurus); melalui cerita tentang titian rambut dibelah tujuh yang harus dilalui oleh semua orang menuju sorga. Dibawah jembatan itu terdapat api yang menyala nyala yang siap memanggang siapa saja yang gagal melewatinya. Itulah neraka Jahannam. Cerita tersebut ternyata sangat populer dan diceritakan secara turun temurun, terutama oleh para guru TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) kepada para santri kecilnya. Tak terkecuali anak saya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar murid saya. Mereka menerimanya dari para guru ngajinya juga.
Saya juga ingat ketika guru ngaji saya menasehati salah seorang teman saya yang kedapatan mengumpat atau berbohong. Beliau berkata: ” Hus! itu dosa tahu nggak? Nanti di akhirat sana lidah kamu bakal menjulur, kemudian dipotong. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi dan seterusnya”. Hal yang lebih mengerikan juga saya ingat ketika guru saya menggambarkan tentang hari kiamat dan berbagai siksa neraka seperti punggung diseterika dan tubuh yang hangus terbakar.
Pernah suatu ketika, Tyas anak bungsu saya yang baru duduk di kelas 4 SD protes. Katanya:” Tuhan tidak adil! Lebih enakan jadi laki laki daripada perempuan. Jadi perempuan sangat banyak beban tugasnya dan repot. Sudah harus hamil, melahirkan, menyusui, ngurusi rumah tangga. Repot karena harus pakai pakaian rangkap(jilbab). Sedangkan laki laki kan enggak. Cuma cari uang saja. Cepat cepat saya menyahut:” Lho Bapak kan juga bantu ibu mencuci setiap harinya?.” Tapi tetap saja dia merasa tidak adil.
Kira kira seminggu kemudian barulah saya mengerti mengapa dia bersikap demikian setelah dia bertanya tentang laki laki bukan muhrim . Setelah saya telusuri pelan pelan dia mulai bercerita tentang kajian fiqhun-Nisa’ (kajian kewaniaan) yang diselenggarakan oleh sekolah. Dia bercerita banyak tentang bagaimana bu gurunya menjelaskan tentang ”keharusan- keharusan” yang harus dipatuhi oleh wanita muslimah serta larangan larangan yang harus dihindarinya. Saya jadi bisa ikut merasakan, betapa yang namanya agama begitu berat dirasakan oleh seorang anak yang baru berusia 10 tahun seperti Tyas.
Saya baru menyadari tentang peran pentingnya metode yang sering jauh lebih menentukan dari pada pesan/materi yang ingin disampaikan. Barangkali ini yang terjadi di sekolah sekolah, seperti contoh di atas. Pendekatan normatif yang digunakan membuat agama begitu berat membebani dan membelenggu kebebasan mereka.
Saya benar benar memutar otak; bagaimana menjelaskan pada tyas tentang keadilan Tuhan. Tidak sengaja saya melihat sebuah judul buku di terpampang di etalase toko buku yang berjudul Bangga Menjadi Wanita. Dengan versi dan bahasa yang sederhana saya mencoba menjelaskan bahwa saya begitu bangga dan bersyukur menjadi perempuan; menjadi ibu.Diapun bertanya, Mengapa? Saya jawab:
” Coba perhatikan di sekitar kita. Ada disebut ibu jari (tapi tidak ada bapak jari), ibu pertiwi (tapi tidak ada bapak pertiwi), ada ibu kota (tapi tidak ada bapak kota). Apa itu artinya? Tyaspun tertawa terkekeh. Kemudian saya lanjutkan dengan melihat realitas disekelilingnya: Bapak bekerja, ibu juga bisa bekerja; Bapak menyopir, ibu juga bisa; Tapi... jika ibu bisa hamil, melahirkan dan menyusui, sebaliknya bapak ga bisa melakukannya. Apa menjadi ibu itu bukan sesuatu yang hebat dan membanggakan?
Kesan ketidakramahan Tuhan-nya orang Islam ternyata didukung dengan munculnya tayangan televisi yang menyebut programnya ”sinetron religi”. Atau serial simetron Hidayah. Tapi yang muncul justru berbagai ”aksi” Tuhan menebar siksaNya kepada setiap hambaNya yang berbuat dosa seolah tanpa ampun. Lihat saja dari judulnya saja yang mengerikan, seperti: Istri selingkuh, mati bau anyir; Menantu Durhaka, mati mengenaskan, Makan harta anak yatim mati dimakan belatung, dsb.
Di dalam ayat ayat Al-Qur’an memang ada beberapa ayat yang mengandung ancaman, tetapi ayat ayat tersebut sangat kecil dibandingkan dengan ayat ayat yang menggambarkan kasih sayang Tuhan, ke-Maha Pengampun-an Tuhan dengan berbagai pintu pertaubatan yang ditawarkan. Apalagi jika kita menyimak realitas keseharian akan dapat dilihat besarnya ke-Maha Makluman Tuhan. Para guru agamapun sampai hari ini masih banyak yang menggunakan pendekatan normatif (fiqih) dalam melihat masalah kehidupan. Siswa tidak boleh begini begitu, yang ini haram yang itu dosa. Serhingga ia lebih terlihat sebagai sosok hakim yang siap mengadili dari pada seorang pembimbing yang menjadi sahabat anak.
Cita rasa keberagamaan yang dimiliki seseorang memang tidak terlepas dari bagaimana sebuah agama (Tuhan) itu dikenalkan, dipersepsikan dan dibiasakan oleh lingkungan, para orang dewasa, tetutama para muballigh (para da’i, kyai, termasuk para guru agama). Untuk menggambarkan ini saya ibaratkan semangkok bakso; jika kita memakannya secara parsial, misalnya cabenya dulu, lalu cuka, sausnya, baru kemudian baksonya maka akan terasa aneh di lidah kita. Tapi jika kita meramunya dengan komposisi yang pas kemudian menikmatinya dengan cara yang tepat, maka akan terasa bakso yang mak nyuus, lezat dan menyehatkan.
Ini adalah pelajaran berharga sekaligus tantangan bagi guru agama agar dapat menghadirkan Tuhan dalam sajian pembelajaran di kelasnya secara lebih ramah, damai dan menyejukkan.
04 Oktober 2007
MENJADI SAHABAT MURID YANG RENDAH HATI, MAU BELAJAR DAN TERBUKA TERHADAP KRITIK
Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru SMA PIRI 1 Yogyakarta
Sebagai seorang guru tentu saja saya pernah merasakan saat menjadi murid. Berbagai pengalaman unik, mengharukan, membahagiakan sampai yang memalukan terekam kuat dalam ingatan sekaligus pelajaran berharga bagi saya. Akan tetapi sekaarang ini situasinya jauh berbeda dengan dulu waktu saya sekolah. Dulu keberadaan guru demikian dominan dan sentral. baik di masyarakat maupun di dalam kelas. Minimnya akses informasi karena keterbatasan tehnologi membuat guru merupakan sosok yang dianggap ”yang paling tahu”; oleh karenanya tempat banyak orang bertanya.
Sebutan ”Mas Guru” merupakan simbol penghormatan bagi guru. Di kelas guru merupakan sumber informasi utama bagi murid muridnya dan sekaligus berperan sebagai subyek belajar. Dengan posisinya itu guru menjadi sangat berkuasa dalam memainkan otoritasnya, termasuk dalam menjatuhkan sangsi hukuman bagi anak didiknya. Saya ingat betul sosok guru SD saya kelas 4 yang suka mencubit lengan atas siswanya yang melanggar. Karena demikian sakitnya sampai ”kucingen” (mengerang erang kaya kucing kesakitan) dan bekasnya 2 minggu tidak hilang. Anehnya tak ada orang tua yang protes. Para orang tua itu begitu percaya pada guru, sehingga apapun yang dilakukan guru dilihatnya sebagai cara ”mendidik” untuk bisa mengubah anaknya menjadi lebih baik. Ketika nenek saya tahu ada kira kira 3 buah bekas cubitan itu di lengan, beliau berkomentar: ” Lha kamu bandel sih, makanya jika tidak ingin dihukum lagi, besok besok jangan bandel !”
Hal di atas memang bisa difahami karena guru adalah sumber informasi, figur teladan yang mentransformasikan nilai nilai dalam kehidupan siswa mana yang pantas dan tidak pantas; mana yang baik dan buruk. Di era sekarang ini guru bukanlah satu satunya sumber informasi. Kemajuan tehnologi elektronika telah membawa masyarakat dari lingkungan lokal ke lingkungan global. Banjir informasipun melaju tak terbendung. Pergantian informasi tidak lagi per-hari, atau per-jam; tapi per-detik. Seiring dengan itu posisi dan peran guru mau tidak mau bergeser. Dia tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi, karena telah diganti oleh televisi, internat dan hand phone. Ia tak lagi sebagai figur sentral karena telah diganti oleh Madonna, Brad Pitt, Primus dan SpongBob. Berbagai produk budaya yang menampilkan gaya hidup dari berbagai bangsa mengalir tanpa batas.
Sayangnya perubahan dan pergeseran ini sering tidak diikuti dengan kesiapan mental, spiritual maupun intelektual. Ketidak siapan itu bukan saja dialami oleh anak anak dan remaja, tetapi juga oleh para orang tua, bahkan para guru. Pada suatu kesempatan saya pernah diprotes oleh salah seorang siswa ketika saya menyoroti tentang setelah menyaksikan ditangkapnya Roy Martin, pelawak Doyok, Polo, Deri, serta maraknya CD porno; hasil ulah dari para orang tua. Mereka mengatakan:” Bu, kenapa disurat kabar, spanduk, seminar sering temanya tentang kenakalan remaja?. Ternyata yang kelahi, narkoba dan pornoaksi para orang tua juga!”.
Kemajuan tehnologi komunikasi, disamping membantu meningkatkan produktifitas manusia modern, ternyata juga menjadi ancaman, beban sekaligus tantangan bagi sebagian guru dalam mengelola kelas. Terlebih lagi pada sekolah swasta seperti SMA PIRI I. Dari sisi kualitas inputnya, jelas jauh di bawah sekolah negeri. Padahal survey menunjukkan adanya hubungan paralel antara prestasi belajar dengan motivasi dan konsentrasi belajar siswa. Sepeda motor dan media elektronik seperti HP, MP, Notebook, sudah mulai menjadi kebutuhan ”penting” mereka. Sayangnya mereka lebih melihatnya dari nilai gengsinya (merek dan modelnya) dari pada nilai fungsinya. Berbagai fasilitas diatas berdampak pada berkurangya motivasi, konsentrasi dan perhatian mereka pada pelajaran sekolah. Hal tersebut terlihat pada kurang siapnya mereka untuk memasuki pelajaran setelah pergantian jam, saat istirahat maupun saat waktu jeda lainnya. Mereka terlihat asyik bahkan sampai jam pelajaran berjalan.Terlebih lagi untuk guru tertentu yang mereka pandang permisif. Berbagai fasilitas tersebut telah mulai memanjakan anak anak sehingga berdampak pada menurunnya fighting spirit mereka. Mereka mulai kurang berminat menjadi pengurus OSIS, PMR, KIR karena dianggapnya sebagai kegiatan yang merepotkan dan melelahkan. Tetapi tidak demikian pada kegiatan seperti band, teater, basket.
Keadaan tersebut jelas memerlukan sikap dan pandangan yang berbeda dalam mensiasatinya jika ingin keberadaan guru benar benar fungsional dan berdampak pada anak didik. Hal ini pada akhirnya menghendaki peran yang khas dari guru yang harus bergeser menjadi fasilitator, motivator, katalisator dan tutor. Jika peran peran tersebut tidak dapat dimainkan, tidak mustahil jika kemudian ia terpinggirka dan kehilangan respect dari para muridnya Hal ini bisa dilihat pada salah satu situasi yang secara tidak sengaja saya jumpai diluar sepengetahuan mereka:
Seorang siswa keluar dari ruang guru. Seorang temannya bergegas menghampirinya dan bertanya:
” Gimana? Kok lama banget?.
” Biasa, ndengerin ceramah umum dulu”
” Yaaah, biar kamu insyaf, tahu!”
” Halah ...Hweek!. Dasar banyak mulut!”
” Lha dikasihkan nggak?”
” Nggak, malah disuruh panggil orang tua. Ah mbok biarin aja, kali aja mau digadaikan; kan tanggal tua?”
” Ha ha ha..!” keduanya tertawa.
Rupanya siswa tersebut sedang menemui salah seorang guru untuk meminta kembali ponsel miliknya yang baru saja disita karena dipakai mainan saat jam pelajaran.
Kejadian kedua adalah saat kami para guru merasa risih dan gelisah melihat isi HP yang konon kata anak anak banyak berisi gambar dan situs porno. Oleh kepala sekolah kami diminta koordinasi (guru agama, guru BK dan kordinator 6K) untuk me razia ponsel mereka. Lucunya, baru masuk satu kelas, buru buru kami menghentikan aksi setelah menyadari ketidaksiapan ( baca:ketidakmampuan ) kami mengoperasikan semua jenis ponsel dengan berbagai type yang mereka punya. Kami benar benar merasa tak berdaya sekaligus malu.
Pengalaman itu sungguh terasa menyakitkan, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mau merenungkan kembali apa yang selama ini telah saya lakukan. Boleh jadi kejadian di atas pernah terjadi pada diri saya tanpa saya sadari?. Kejadian tersebut juga mengajarkan saya untuk tidak lagi tampil sebagai ”pengajar” (techer) yang ”maha tahu” ataupun ” yang mahakuasa”, tetapi lebih sebagai seorang sahabat yang tampil dalam pribadi yang hangat dan mengundang rasa hormat serta penuh keakraban bagi siswa, bukannya sebagai hakim atau polisi yang siap menjatuhkan sangsi hukuman pada setiap siswa yang melanggar.
Peristiwa tersebut juga mengajarkan pada saya untuk rendah hati, mau terus belajar, dan terbuka menerima kritik. Saya juga merasa perlu merubah paradigma lama selama ini yang berfikir bahwa persoalan ketidakdisiplinan siswa selalu dihubungkan dengan masalah ”materi” tata tertib; tetapi juga memikirkan masalah bagaimana menegakkan tata tertib tersebut dikomunikasikan dan ditegakan dengan cara yang lebih terhormat dan bermartabat. Karena ternyata penegakan tata tertib yang dilakukan secara kaku, sepihak, mekanistis, dan kurang humanis dengan memposisikan diri sebagai polisi sekolah daripada pembimbing. membuat hubungan guru-murid menjadi tidak harmonis dan tidak jarang berakhir dengan situasi konflik dan kebencian. Hal ini pula yang mendorong saya merasa perlu untuk melakukan kontrak belajar di awal pembelajaran sebagai bentuk kepercayaan saya kepada para siswa yang sudah dewasa untuk merumuskan dan menemukan kebaikan bersama sekaligus membiasakan siswa untuk menghadapi resiko resiko yang dipilih dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menjadi semakin menyadari bahwa untuk membentuk karakter siswa, seorang guru tidak cukup melakukan proses transformasi, tapi harus melalui proses transaksi nilai hingga intertransformasi. Dengan demikian guru hadir di kelas tidak sekedar fisiknya ataupun pikirannya, tetapi ia juga hadir dengan segala yang ada padanya; fikirannya, sikap, ucap serta perilakunya.
Guru SMA PIRI 1 Yogyakarta
Sebagai seorang guru tentu saja saya pernah merasakan saat menjadi murid. Berbagai pengalaman unik, mengharukan, membahagiakan sampai yang memalukan terekam kuat dalam ingatan sekaligus pelajaran berharga bagi saya. Akan tetapi sekaarang ini situasinya jauh berbeda dengan dulu waktu saya sekolah. Dulu keberadaan guru demikian dominan dan sentral. baik di masyarakat maupun di dalam kelas. Minimnya akses informasi karena keterbatasan tehnologi membuat guru merupakan sosok yang dianggap ”yang paling tahu”; oleh karenanya tempat banyak orang bertanya.
Sebutan ”Mas Guru” merupakan simbol penghormatan bagi guru. Di kelas guru merupakan sumber informasi utama bagi murid muridnya dan sekaligus berperan sebagai subyek belajar. Dengan posisinya itu guru menjadi sangat berkuasa dalam memainkan otoritasnya, termasuk dalam menjatuhkan sangsi hukuman bagi anak didiknya. Saya ingat betul sosok guru SD saya kelas 4 yang suka mencubit lengan atas siswanya yang melanggar. Karena demikian sakitnya sampai ”kucingen” (mengerang erang kaya kucing kesakitan) dan bekasnya 2 minggu tidak hilang. Anehnya tak ada orang tua yang protes. Para orang tua itu begitu percaya pada guru, sehingga apapun yang dilakukan guru dilihatnya sebagai cara ”mendidik” untuk bisa mengubah anaknya menjadi lebih baik. Ketika nenek saya tahu ada kira kira 3 buah bekas cubitan itu di lengan, beliau berkomentar: ” Lha kamu bandel sih, makanya jika tidak ingin dihukum lagi, besok besok jangan bandel !”
Hal di atas memang bisa difahami karena guru adalah sumber informasi, figur teladan yang mentransformasikan nilai nilai dalam kehidupan siswa mana yang pantas dan tidak pantas; mana yang baik dan buruk. Di era sekarang ini guru bukanlah satu satunya sumber informasi. Kemajuan tehnologi elektronika telah membawa masyarakat dari lingkungan lokal ke lingkungan global. Banjir informasipun melaju tak terbendung. Pergantian informasi tidak lagi per-hari, atau per-jam; tapi per-detik. Seiring dengan itu posisi dan peran guru mau tidak mau bergeser. Dia tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi, karena telah diganti oleh televisi, internat dan hand phone. Ia tak lagi sebagai figur sentral karena telah diganti oleh Madonna, Brad Pitt, Primus dan SpongBob. Berbagai produk budaya yang menampilkan gaya hidup dari berbagai bangsa mengalir tanpa batas.
Sayangnya perubahan dan pergeseran ini sering tidak diikuti dengan kesiapan mental, spiritual maupun intelektual. Ketidak siapan itu bukan saja dialami oleh anak anak dan remaja, tetapi juga oleh para orang tua, bahkan para guru. Pada suatu kesempatan saya pernah diprotes oleh salah seorang siswa ketika saya menyoroti tentang setelah menyaksikan ditangkapnya Roy Martin, pelawak Doyok, Polo, Deri, serta maraknya CD porno; hasil ulah dari para orang tua. Mereka mengatakan:” Bu, kenapa disurat kabar, spanduk, seminar sering temanya tentang kenakalan remaja?. Ternyata yang kelahi, narkoba dan pornoaksi para orang tua juga!”.
Kemajuan tehnologi komunikasi, disamping membantu meningkatkan produktifitas manusia modern, ternyata juga menjadi ancaman, beban sekaligus tantangan bagi sebagian guru dalam mengelola kelas. Terlebih lagi pada sekolah swasta seperti SMA PIRI I. Dari sisi kualitas inputnya, jelas jauh di bawah sekolah negeri. Padahal survey menunjukkan adanya hubungan paralel antara prestasi belajar dengan motivasi dan konsentrasi belajar siswa. Sepeda motor dan media elektronik seperti HP, MP, Notebook, sudah mulai menjadi kebutuhan ”penting” mereka. Sayangnya mereka lebih melihatnya dari nilai gengsinya (merek dan modelnya) dari pada nilai fungsinya. Berbagai fasilitas diatas berdampak pada berkurangya motivasi, konsentrasi dan perhatian mereka pada pelajaran sekolah. Hal tersebut terlihat pada kurang siapnya mereka untuk memasuki pelajaran setelah pergantian jam, saat istirahat maupun saat waktu jeda lainnya. Mereka terlihat asyik bahkan sampai jam pelajaran berjalan.Terlebih lagi untuk guru tertentu yang mereka pandang permisif. Berbagai fasilitas tersebut telah mulai memanjakan anak anak sehingga berdampak pada menurunnya fighting spirit mereka. Mereka mulai kurang berminat menjadi pengurus OSIS, PMR, KIR karena dianggapnya sebagai kegiatan yang merepotkan dan melelahkan. Tetapi tidak demikian pada kegiatan seperti band, teater, basket.
Keadaan tersebut jelas memerlukan sikap dan pandangan yang berbeda dalam mensiasatinya jika ingin keberadaan guru benar benar fungsional dan berdampak pada anak didik. Hal ini pada akhirnya menghendaki peran yang khas dari guru yang harus bergeser menjadi fasilitator, motivator, katalisator dan tutor. Jika peran peran tersebut tidak dapat dimainkan, tidak mustahil jika kemudian ia terpinggirka dan kehilangan respect dari para muridnya Hal ini bisa dilihat pada salah satu situasi yang secara tidak sengaja saya jumpai diluar sepengetahuan mereka:
Seorang siswa keluar dari ruang guru. Seorang temannya bergegas menghampirinya dan bertanya:
” Gimana? Kok lama banget?.
” Biasa, ndengerin ceramah umum dulu”
” Yaaah, biar kamu insyaf, tahu!”
” Halah ...Hweek!. Dasar banyak mulut!”
” Lha dikasihkan nggak?”
” Nggak, malah disuruh panggil orang tua. Ah mbok biarin aja, kali aja mau digadaikan; kan tanggal tua?”
” Ha ha ha..!” keduanya tertawa.
Rupanya siswa tersebut sedang menemui salah seorang guru untuk meminta kembali ponsel miliknya yang baru saja disita karena dipakai mainan saat jam pelajaran.
Kejadian kedua adalah saat kami para guru merasa risih dan gelisah melihat isi HP yang konon kata anak anak banyak berisi gambar dan situs porno. Oleh kepala sekolah kami diminta koordinasi (guru agama, guru BK dan kordinator 6K) untuk me razia ponsel mereka. Lucunya, baru masuk satu kelas, buru buru kami menghentikan aksi setelah menyadari ketidaksiapan ( baca:ketidakmampuan ) kami mengoperasikan semua jenis ponsel dengan berbagai type yang mereka punya. Kami benar benar merasa tak berdaya sekaligus malu.
Pengalaman itu sungguh terasa menyakitkan, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mau merenungkan kembali apa yang selama ini telah saya lakukan. Boleh jadi kejadian di atas pernah terjadi pada diri saya tanpa saya sadari?. Kejadian tersebut juga mengajarkan saya untuk tidak lagi tampil sebagai ”pengajar” (techer) yang ”maha tahu” ataupun ” yang mahakuasa”, tetapi lebih sebagai seorang sahabat yang tampil dalam pribadi yang hangat dan mengundang rasa hormat serta penuh keakraban bagi siswa, bukannya sebagai hakim atau polisi yang siap menjatuhkan sangsi hukuman pada setiap siswa yang melanggar.
Peristiwa tersebut juga mengajarkan pada saya untuk rendah hati, mau terus belajar, dan terbuka menerima kritik. Saya juga merasa perlu merubah paradigma lama selama ini yang berfikir bahwa persoalan ketidakdisiplinan siswa selalu dihubungkan dengan masalah ”materi” tata tertib; tetapi juga memikirkan masalah bagaimana menegakkan tata tertib tersebut dikomunikasikan dan ditegakan dengan cara yang lebih terhormat dan bermartabat. Karena ternyata penegakan tata tertib yang dilakukan secara kaku, sepihak, mekanistis, dan kurang humanis dengan memposisikan diri sebagai polisi sekolah daripada pembimbing. membuat hubungan guru-murid menjadi tidak harmonis dan tidak jarang berakhir dengan situasi konflik dan kebencian. Hal ini pula yang mendorong saya merasa perlu untuk melakukan kontrak belajar di awal pembelajaran sebagai bentuk kepercayaan saya kepada para siswa yang sudah dewasa untuk merumuskan dan menemukan kebaikan bersama sekaligus membiasakan siswa untuk menghadapi resiko resiko yang dipilih dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menjadi semakin menyadari bahwa untuk membentuk karakter siswa, seorang guru tidak cukup melakukan proses transformasi, tapi harus melalui proses transaksi nilai hingga intertransformasi. Dengan demikian guru hadir di kelas tidak sekedar fisiknya ataupun pikirannya, tetapi ia juga hadir dengan segala yang ada padanya; fikirannya, sikap, ucap serta perilakunya.
Jadilah Guru yang Inspiratif
Jadilah Guru yang Inspiratif
Catatan singkat, guru dan tantangan perubahan
Oleh:
Purwono Nugroho Adhi
katekis@yahoo.com
Sekedar kata awal
Pada tanggal 29 Agustus 2007, saya tertarik suatu artikel dalam Koran Kompas yang ditulis oleh Rhenald Kasali pada rubrik opini. Tulisan itu memberi gagasan yang menarik terkait dengan guru. Dalam tulisan itu, dikatakan, bahwa kita mengenal dua jenis guru, yaitu guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum mengajar sesuai apa yang diacu atau sesuai standarnya, sedangkan guru inspiratif mengajar siswanya dengan sesuatu yang membuat siswanya kreatif dan termotivasi. Menurut artikel tersebut, kita jarang menemukan guru yang inspiratif ini, kebanyakan guru menjadi guru yang habitual (kebiasaan-tradisi) saja.
Untuk menjadi guru yang inspiratif ini memang tidak mudah, karena dirinya harus membawa sesuatu yang tidak biasanya, mampu menembus batas tradisi, dan kreatif. Guru yang inspiratif memang berbeda dengan guru kurikulum, ia selalu ingin perubahan, peka terhadap situasi dan konteks hidup siswanya. Menjadi guru inspiratif tentu saja tidak dapat diraih dengan hanya sekedar "berbeda", ia membutuhkan komitment tinggi terhadap perubahan, memahami, serta mampu membawa siswanya memahami dunia melalui dirinya sendiri.
Melihatlah yang paretto
Sejarah peradaban dimana pun tak pernah lepas dari perubahan. Ia berubah atau diubah. Begitupun kita, bahwa denyut nadi ini bergerak, hidup, kalau berubah. Denyut nadi alam telah memperlihatkan hal itu, perubahan pasti terjadi, baik itu evolutif (perlahan) ataupun dengan revolutif (cepat). Tumbuh, berkembang, adalah jiwa konsekwensi kehidupan.
Jika ingin berubah harus bersedia untuk melihat. Melihat, mengandaikan kita harus bersedia terbuka kepada segala sesuatu perubahan yang terjadi. Melihat, membutuhkan kemauan, sekaligus analisa. Agar kita mampu "melihat" dengan maju, maka kita harus melihat pada dua sisi atau segi , yaitu melihat apa yang KONTRAS, dan melihat apa yang KONFONTRATIF.
Pengalaman kontras, mengajak kita berpikir lain, kreatif dan imajinatif. Kita tidak hanya melihat dari apa yang biasannya, melainkan dari apa yang tak biasa. Dengan "melihat" yang tak biasa, maka kita diajak untuk berpikir, bahwa ada banyak pilihan, ada banyak ragam, ada banyak jalan, dan masih banyak yang lainnya. Kita berusaha melihat sesuatu yang kontras tersebut dihadirkan di dalam pergulatan penglihatan kita. Kita disadarkan bahwa ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Dengan melihat kita sadar bahwa kita perlu berubah dan melakukan sesuatu di tengah zaman yang penuh tantangan dan perubahan ini.
Sering kali apa yang biasanya ada, baik, itu perilaku, budaya, sistem dan lain sebagainya, selalu ada yang disebut mayoritas sebagai yang 80%, dan ada 20% yang bisa dikatakan minoritas. 80% adalah apa yang normal, namun yang 20% adalah yang ab-normal. Kita mampu melihat secara "berbeda", kontras dan konfrontatif, jika kita selalu melihat fenomena itu dari yang 20% ini. Kita perlu melihat fenomena itu bukan apa yang kebanyakan, melainkan apa yang "disingkirkan". Kita harus melihat segi-segi "lain" dari apa yang kebanyakan muncul. Biasanya 20% malah yang kelihatan, kontras, konfrontatif. Kreatifitas muncul jika kita dapat mengakomodir dari yang 20% ini. Biasanya pula 20% ini selalu mempunyai nilai dan makna yang lebih dibandingkan dari yang 80%, karena biasanya ada prinsip, pola, sikap dan latar belakang yang bersifat kontras. Jika kekontrasan dari 20% ini dapat diamati dan dianalisa, maka lahirlah suatu kreatifitas, kajian yang akan memperkaya, beragam dan inovatif.
Mulailah pengajaran yang kreatif
Dalam pendidikan, proses pembelajaran perlu kreatifitas dengan tetap memperhatikan aspek kognitifnya. Alasannya, perkembangan usia siswa, konteks budaya dan berbagai hal yang perlu dicari bersifat menyapa aspek imaginatif, menarik, dan menyenangkan, tanpa meninggalkan aspek pembelajaran secara utuh (kognitif-afektif serta psiko-motorik). Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang sederhana namun mampu memberikan suasana yang tepat bagi alam pikir dan psikologis siswa, sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat dalam proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran bersifat menggairahkan, menyenangkan dan menarik, maka siswa akan termotivasi dan terlibat secara penuh. Agar proses pembelajaran berjalan seperti itu, maka kita perlu dukungan berbagai metode, sarana/media serta ketrampilan dalam mengolah dan memprosesnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi sikap atau cara pandang kita, yaitu:
- Terbuka dan berupaya mencari berbagai kemungkinan, baik dari orang lain, buku, referensi internet dan sebagainya, agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
- Utuh dan fleksibel dalam mengemas pembelajaran. Metode-pendekatan dan sarana/media yang dipergunakan bervariasi, tidak hanya ceramah/informatif saja, tetapi juga dengan berbagai pendekatan yang menarik, namun tidak lepas dari komponen segi kognitif-afeksi dan psikomotorik siswa.
- Terlibat secara penuh untuk mengamati, menganalisa, memahami gaya belajar dan kemampuan masing-masing siswa sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran.
- Memotivasi siswa untuk berkeinginan belajar terus-menerus dan memberi peluang untuk belajar sesuai dengan kemampuannya.
Multitasking pembelajaran sebagai tantangan
Dewasa ini, yang perlu kita sadari, adalah tantangan budaya multitasking. Budaya multitasking ini sudah mempengaruhi bagaimana siswa mengikuti sebuah proses pembelajaran. Ciri yang paling mendominasi adalah munculnya komponen budaya inderawi yang utuh, meliputi melihat, mendengar, merasakan-menyentuh dan bereksplorasi. Bahasa yang dulunya cenderung mengajar, kemudian berubah menjadi bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasa media tersebut lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu, bahasa itu menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa. Siswa akan tertarik pada sifat-sifat proses pembelajaran yang auditif dan visualitif. Mungkin, media komunikasi populer bisa menjadi salah satu alternatif.
Media komunikasi populer itu hendaknya ditempatkan dalam rancangan pembelajaran yang menarik dan kreatif. Hal itu sangat beralasan, karena pengaruh media informasi yang sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi dengan sesamanya dewasa ini.
Media komunikasi populer perlu kita kembangkan sebagai salah satu komponen penting dari pembelajaran kita. Salah satunya dapat meliputi, pemutaran film-film populer untuk pendalaman materi, bahasa foto, bahasa gambar, dan lain sebagainya. Intinya media pembelajaran kita paling tidak harus memuat dua unsur penting, yaitu:
- Unsur Inderawi. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi kegiatan inderawi, meliputi pengelihatan dan pendengaran. Dalam mengolah materi perlu dipergunakan bahasa yang tidak hanya verbal, melainkan juga audio-visual, dengan sarana visualisasi melalui gambar-gambar yang menarik dan menggugah imaginasi siswa, dan sarana auditif yang menarik pendengarnya.
- Unsur Populer. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi berbagai bahasa, cara, model, gambar, lagu yang populer dikenal siswa. Unsur populer ini bukan menggantikan materi, melainkan pendekatan untuk mendukung proses mendalami materi.
- Pendekatan Visual-auditif. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami materi dengan mempergunakan berbagai sarana visual-auditif, yaitu gambar-poster, lukisan, karikatur, film-film animatif, lagu-lagu dan lain sebagainya. Pendekatan ini ingin mengajak siswa supaya konkret melihat visualisasi yang harus ia pelajari, dan secara inderawi mampu memberikan daya pikat, baik dari segi penglihatan maupun pendengaran.
- Pendekatan Populer. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami suatu materi dengan mempergunakan berbagai tehnik dan model yang populer. Guru membuat prosesnya seperti model acara televisi, misalnya talk show. Pendekatan ini dapat mempergunakan film, gambar, lagu yang populer dikenal oleh siswa dalam mendalami suatu materi, misalnya film Sitting Duck, film animasi dari Walt Disney, dan sebagainya.
- Media Gambar (visual), adalah sarana atau media yang berbentuk poster, lukisan, photo, karikatur, dan sebagainnya, yang fungsinya untuk mendukung pembelajaran secara visual. Hal ini dapat dilakukan dengan: 1). Divisualisasikan, artinya gambar (poster, lukisan, photo, karikatur, dll), digunakan untuk memvisualkan tema atau gagasan yang ingin didalami atau dipelajari, sarana atau media bantu penjelasan dari guru atau media yang digunakan untuk diskusi, diamati, dan didalami-direfleksi bersama (apresiasiatif). 2). Dinarasikan, artinya gambar (poster, photo, dll) sebagai media untuk bercerita (storytelling). Gambar yang disajikan, membantu kita memberikan "suasana" dan pusat perhatian bagi siswa. 3) Mempergunakan bahasa gambar melalui papan tulis. Bahasa gambar ini memang membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena kita harus mampu membuat bahasa gambar itu untuk disajikan kepada siswa dengan cepat namun menarik.
- Media Auditif, adalah sarana atau media yang digunakan melalui pendengaran, misalnya lagu cassette, CD, atau cerita cassette yang sifatnya hanya didengarkan. Biasanya media ini digunakan untuk mendukung pendekatan-pendekatan lain misalnya, ekspresi gerak atau populer, digunakan sebagai sarana memberikan "suasana" ruang atau sebagai media untuk didalami bersama.
- Media audio-Visual (Film), adalah sarana atau media yang utuh untuk mengkolaborasi bentuk-bentuk visual dengan audio. Media ini bisa dipergunakan untuk membantu penjelasan guru sebagai peneguh, sebagai pengantar, atau sebagai sarana yang didalami. Media ini tidak hanya dikembangkan melalui bentuk film saja, tetapi dapat dikembangkan melalui sarana komputer dengan tehnik powerpoint dan flash player, hal ini perlu ketrampilan dan sarana yang khusus.
Langganan:
Postingan (Atom)