27 Agustus 2008

Ahimsa – Emoh Kekerasan

Salah satu praktik kekerasan yang sangat penting diperhatikan guru adalah kekerasan terhadap anak (KTA). Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, dalam artikelnya (KOMPAS, 23/7/08) menyebutkan data KPAI tahun 2007 yang dianalisis dari 19 surat kabar yang memperlihatkan 11,3 persen kekerasan terhadap anak dilakukan oleh guru (atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan orang-orang di sekitar anak yang mencapai 18 persen). Pada tahun 2008, kekerasan Guru terhadap anak mengalami peningkatan 39,6 persen dari 95 kasus KTA atau jumlah tertinggi dibanding pelaku kekerasan terhadap anak yang lain. Kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak ini belum termasuk kekerasan psikologis berupa perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional.Sementara itu kita sangat memahami bahwa setiap bentuk kekerasan akan menghasilkan kekerasan yang lain bila tidak segera kita putus lingkaran kekerasan ini.

Emoh Kekerasan dan Kasih Sayang
Ajaran emoh kekerasan (ahimsa, non violence) ada dalam semua agama. Emoh kekerasan adalah juga terjemahan kasih sayang yang dinamis. Emoh kekeraan kurang lebih adalah sikap menjaga diri untuk tidak melukai atau merusak apa pun bentuk hidup mahluk ciptaan Tuhan. Penjabarannya adalah emoh melukai atau merusak perasaan, kehormatan, martabat serta kemerdekaan orang lain dan menghindari diri dari sikap yang langsung-atau tidak langsung menghalangi tumbuh kembang mahluk lain yang berguna bagi harmoni semesta dalam waktu kini atau di kemudian hari. Kasih sayang yang tumbuh dari kesadaran syukur dan merawat kehidupan yang memungkinkan orang selalu sadar dan waspada untuk emoh kekerasan.
Dalam agama Hindu umat diajarkan dengan sangat serius tentang tatwam asi: kamu adalah aku, aku adalah kamu. Penafsiran dari ajaran ini kurang lebih adalah apa dan bagaimana yang kita lakukan terhadap yang lain pada dasarnya adalah dilakukan juga untuk diri kita sendiri. Umat Kristiani memahami secara mendalam apa yang dikatakan Yesus ketika menjawab pertanyaan orang-orang Saduki dalam Injil Matheus 22:28-34, “Hukum manakah yang paling utama?”Yesus menjawab: “ Hukum yang terutama ialah, dengarlah hai orang-orang Israil, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum kedua adalah kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri. Tidak ada lagi hukum yang lebih utama dari pada kedua hukum ini”. Sementara itu umat Islam sangat akrab dengan ajaran hadits nabi Muhammad “Tidak dianggap beriman seseorang hingga ia mencitai saudaranya sesama manusia sebagaimana mencintai dirinya sendiri (HR.Bukhari dan Muslim). Kasih sayang itu sendiri adalah ajaran dasar setiap agama, wujud dari rasa syukur atas kehidupan yang diselenggarakan oleh Tuhan yang maha Pengasih dan Penyayang.
Namun saat ini bicara emoh kekerasan menjadi sebuah perjuangan. Televisi yang setiap hari menjadi candu dan kiblat hampir setiap orang, hampir tidak absen mempertontonkan kekerasan. Para wakil rakyat dan tokoh masyarakat juga tidak sungkan mempertontonkan kata-kata atau sikap kekerasan terhadap orang atau kelompok yang tidak disukai dengan hujatan atau menebar gosip yang mencederai martabat orang lain. Para pemimpin kita juga tega membiarkan ada warga Negara yang dianiaya bahkan diusir dari rumahnya karena mempunyai keyakinan berbeda dari orang kebanyakan.
Bagaiamana situasi di sekolah-sekolah kita? Bagaimana sikap rekan-rekan guru ketika menghadapi anak-anak yang tertekan oleh situasi di rumah? Bagaimana menghadapi anak-anak yang mempunyai kemampuan atau karakter berbeda dari pada umumnya anak? Bagaimana menemani anak-anak yang tertipu oleh terror iklan televisi? Saatnya kita lebih pro-aktif untuk waspada emoh kekerasan.

Akar Kekerasan pada Hasrat Berkuasa
Untuk mewujudkan dua hal ini dapat ditelusuri pada akar satu, yaitu hasrat –kuasa-menguasai atau ego atau hawa nafsu yang tak terkendali. Hasrat ini sesungguhnya akan terkendali kesanggupan untuk kritis pada diri sendiri, introspeksi terus menerus sehingga mampu keluar dari jebakan yang ada dalam diri kita sendiri. Kesanggupan ini akan diperkuat oleh tali ketulusan mengabdi pada upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pengendalian yang hanya mungkin ketika ada orentasi atau tujuan hidup yang jelas, bahwa pada akhirnya segala sesuatu kembali pada Sang asal kehidupan. Segalanya yang dilakukan dalam mengisi saat hidup perlu diberi kerangka pengabdian pada Nya.
Untuk mengenali hasrat berkuasa, ego atau hawa nafsu ini, bisa dicermati dari keinginan-keinginan, kekhawatiran atau ketakutan, rasa marah dan cemburu, serta dalam persepsi diri kita tentang diri sendiri, persepsi pada orang lain maupun kehidupan secara umum. Hasrat berkuasa yang menguasai diri manusia, membuat ia melihat dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Dalam keadaan ini seolah apa yang dipikir, apa yang dilihat, dirasa dan diinginkan oleh yang bersangkutan adalah kebenaran yang harus dipenuhi. Hilang pertimbangan bahwa apa pun pilihan tindakan yang diambil selama dalam hidup harus diuji dengan pertanyaan apakah hal itu baik untuk semua (bukan hanya sesama manusia, tetapi mahluk hidup yang lain)?, apakah tidak ada pihak yang dirugikan, atau dipinggirkan sehingga tidak bisa berkembang secara wajar?.
Hasrat berkuasa, ego atau hawa nafsu yang mendominasi seseorang pada akhirnya menyebabkan yang bersangkutan tidak melihat ada kebenaran juga di luar sana dan sebaliknya tidak ada kerendahan hati untuksadar diri sebagai mahluk yang serba terbatas, menyadari serta mencermati kekurangan diri atau mengkritisi diri. Sulit sekali untuk menemukan celah borok misalnya sadar bahwa yang menggerakkan pikiran, kehendak dan seluruh pilihan tindakan adalah keinginan-keinginan diri pribadi yang tak terhingga, hasrat untuk memperkuat diri sendiri, bukan untuk kebaikan bersama. Padahal pilihan tindakan yang dikuaai hawa nafsu inilah yang sangat rawan mengahsilkan sikap kekerasan, entah kekerasan psikis, ekonomi, fisik maupun simbolik.
Sebaliknya, ketika kekerasan dibiarkan menggejala, maka dengan sendirinya akan cepat tumbuh dan berkembang hingga menjadi sesuatu yang seolah-olah biasa dan tidak lagi mengusik kesadaran sebagai sesuatu yang bisa merusak. Misalnya A seorang yang menginginkan jabatan sebagai pengawas pendidikan atau menjadi ketua sebuah organisasi. A sebenarnya tahu dia kemampuannya pas-pasan, tapi dia juga tidak yakin dengan kemampuan orang lain. A menginginkan jabatan itu karena menurutnya jabatan itu akan membuatnya lebih dihormati dan membuat dia bisa sedikit atau banyak membuat orang lain bisa mengikuti jalan pikiran dan ‘petunjuk sesuai seleranya’. Tentu saja dalam jabatan itu ada tambahan penghasilan yang bisa membuat dia bisa membeli barang-barang yang menunjang penampilan untuk dihormati dan mewujudkan kesenangan hidup lain. Tapi ternyata untuk mendapatkan posisi yang diinginkan ada orang lain yang disenangi banyak orang dan punya riwayat pendidikan serta pengalaman lebih baik. Demi mewujudkan keinginannya si A mengedarkan tulisan-tulisan yang membuat pencitraan buruk terhadap saingannya atau menggunakan sentimen kelompok dengan memanipulasi seolah jabatan itu adalah kepentingan bersama dalam kelompoknya. Apa yang mendorong A tega membuat pencitraan buruk tentang orang lain?
Cerita sederhana ini sering muncul dalam sejarah perpolitikan dari tingkat desa hingga nasional. Namun inilah kekerasan simbolis yang sudah dianggap ‘biasa’. Menjadi biasa karena makin banyak orang yang ingin jadi pemimpin, semata-mata karena keinginan untuk berkuasa, bukan keinginan untuk mengabdi pada masyarakat. Kejadian seperti dalam gambaran di atas berlalu begitu saja tanpa ada koreksi dan tuntutan perminaan maaf atau sanksi atas tindakan yang tidak pantas tersebut, sehingga berulang dan berulang. Situasi inilah yang memungkinkan tampilnya pemipin yang pada masa lalunya mempunyai sejarah kekerasan yang sulit diharapkan menghadirkan iklim yang emoh kekerasan.
Contoh lain adalah orang tua atau guru yang menginginkan anak atau anak didiknya hebat. Hasrat atau ambisi yang dtimpakan pada anak-anak kadang tidak disadari oleh para orang dewasa ini telah menorehkan luka di hati anak-anak. Masa kanak-kakak yang wajarnya dipenuhi dengan bermain untuk belajar atau belajar sambil bermain dan pengenalan pada lingkungan untuk belajar menjalin relasi-relasi dengan baik, habis untuk bermacam-macam tuntutan ambisi orang dewasa di sekitarnya, seolah anak-anak ini adalah manusia-manusia kecil yang hanya bisa menurut dan tidak mempunyai keinginan serta persoalan pribadi. Karena bukan keinginan pribadi anak, les dan kursus yang diikuti kadang tidak menambah kepintarannya. Para orang dewasa ini stres oleh ambisinya sendiri dan menjadi mudah emosi. Dan anak-anak ini menjadi sasaran kemarahan yang adakalanya berlebihan dan tidak terkendali, menimpakan awal sebuah dunia yang muram.

Memutus Lingkaran kekerasan
Seorang yang sejarahnya dibesarkan dalam kekerasan, bila ada peluang dia akan melakukan hal yang sama pada orang lain, karena dalam bawah sadarnya merekam kekerasan sebagai sesuatu yang bisa dilakukan pada orang lain. Demi memutus lingkaran kekerasan, Mahatma Gandhi bahkan membiarkan diri dan kelompoknya digebuk bertubi-tubi oleh polisi kolonial Inggris, demi menghidari saling balas terus-menerus dan korban lebih banyak. Di sini emoh kekerasan menjadi bukti kekuatan mengendalikan diri dan kearifan. Dan semua berangkat dari diri kita sendiri. Tepat kiranya yang ditulis oleh Anand Krisna pada Radar Bali, Senin 30/6/2008:
“Jadikan pengendalian diri sebagai tujuan hidupmu, sebagai jihadmu…Bersungguih-sungguhlah untuk mengupayakan hal itu- maka kemenangan akan mencium kakimu. Maka kau akan meraih kesempurnaan dalam hidup ini. Jadikan pengendalian diri sebagai kebiasaan, maka kau akan terbebas dari perangkap dunia yang ilusif ini. Dunia yang saat ini ada dan sesaat kemudian tidak ada” (Redaksi)

11 Juni 2008

AGAMA, POLITIK KEKERASAN DAN DEMOKRASI

Oleh: AA GN Ari Dwipayana

Pengantar
 Kekerasan hadir dimana-mana (omnipotent) , dan dalam berbagai bentuk dan ekspresi. Bahkan kekerasan sudah menjadi spiral kekerasan. Kekerasan mereproduksi kekerasan baru.
 Kekerasan yang fenomenal adalah kekerasan dengan menggunakan “ baju” agama.Fenomena kekerasan dengan identitas agama merupakan fenomena Global. Samuel P Huntington ketika menulis sebuah buku yang diberi judul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order pada tahun 1996. Secara gamblang buku tersebut mengkisahkah transformasi pola konflik yang terjadi di politik domestik maupun global setelah perang dingin usai, dari konflik yang bersumber pada ideologi menjadi konflik politik yang berbasiskan identitas. Lebih jauh Samuel P Huntington membaca bahwasanya politik global akan ditandai oleh politics of civilitation sedangkan politik domestik adalah politics of etnicity.
 Dalam politik identitas, pertanyaan yang paling penting adalah who are we ? Sehingga, berbagai komunitas dalam masyarakat akan merumuskan diri mereka sendiri dalam tema-tema kultural seperti kesamaan agama, bahasa, sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga.

Agama dan Politik Identitas
 Agama sebagai Politik Identitas:
 proses kontruksi agama sebagai sebuah identitas sosial yang di dalamnya dilekatkan atribut-atribut simbolik keagamaan tertentu sebagai media komunikasi di ranah publik. è agama sebagai fenomena sosial dan ekspresi identitas
 Proses penolakan terhadap klaim agama sekedar serangkaian etik privat dan nilai teologis normatif an sich. Agama dirubah menjadi landasan menjadi moralitas publik dengan menjadikannya sebagai isu penting dalam isu moralitas publik dan kontestasi politik è gugatan atas sekularisasi ranah publik.
 Ekspresi politik agama bisa muncul dari apa yang diucapkan atau dilakukan oleh komunitas/kelompok agama tertentu dalam ranah sosial dan politik.

Kekerasan Politik Identitas
 Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik identitas terasa semakin terang benderang terutama sejak kejatuhan rejim Soeharto pada bulan Mei 1998.
 Setidaknya, bangkitnya kembali politics of identity ini terlihat dari munculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Papua dan Kupang. Kedua, terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama, baik antar agama, intra agama atau antara kelompok agama dengan kelompok di luar agama.

 Ada beberapa bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia:
 Pertama, kekerasan fisik seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan Mesjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun terbunuh.
 Bentuk kekerasan yang kedua adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernada melecehkan sesuatu agama.
 Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa berasal dari setiap kelompok agama di Indonesia.
 Namun, belajar dari kasus-kasus yang muncul di Indonesia maka bisa ditemukan sebuah kecenderungan bahwasanya:
1. sebagian besar kekerasan politik agama yang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan komunitas Kristen. Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan Kristen teridentifikasi melalui ikat kepala dan identitas nama kelompok yang bertikai anatara kelompok merah (obet) dan kelompok putih (acang).
2. Intra agama; Ahmadiyah, Syiah, LDII,

Perspektif historis
 Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru.
 Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945-1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam.
 Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998) tercatat tidak kurang dari 456 gereja dirusak, ditutup maupun diresolusi.
 Perusakan gereja yang terjadi setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1996 sampai dengan akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi.
 Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01 %) dirusak, dibakar dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45 %), tahun 1998 tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26 %) dan tahun 2000 tercatat 53 gereja (11,2%).
 Berdasarkan tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia meliputi 76 Kabupaten/ Kota. Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak terjadi di Jawa (273 gereja/ 57,72 %) dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja/ 42,28 %). Pengrusakan gereja lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52 %) dibandingkan kota pedalaman (182 gereja/ 38,48 %)
 Denominasi gereja dibedakan atas Protestan, Pantekosta dan Katolik. Dari 473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74 %), Pantekosta (179 gereja/ 37,84 %) dan Katolik ( 54 gereja/ 11,42 %). Apabila dibedakan menjadi Jawa dan luar Jawa maka komposisi pengrusakan di Jawa ialah Protestan (23 %), Pantekosta (28,75 %) dan Katolik (27 %). Sedangkan di luar Jawa, Protestan (27,48 %), Pantekosta (9,09 %) dan Katolik (5,71 %).
 Berdasarkan jenis kekerasan yang dilakukan dari 473 gereja tercatat 446 gereja (94,29 %) mengalami kekerasan fisik dan 27 gereja yang mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik lebih banyak terjadi di Jawa (25 gereja) dibandingkan dengan di luar Jawa (2 gereja).
 Dari data statistik, Kabupaten/ Kota yang menjadi ajang pengrusakan Mesjid dan gereja, dapat dilihat bahwa pengrusakan gereja terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Islamnya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Kristennya melebihi laju pertumbuhan umat Islam di daerah tersebut.
 Sebaliknya pengruskan Mesjid terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Kristennya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Islamnya melebihi laju pertumbuhan umat Kristen di daerah tersebut. Misalnya di Kupang, prosentase umat Islam : Katolik: Protestan ialah 6,7 : 11,47 : 80,79. Laju pertumbuhan umat Islam : Katolik: Protestan ialah 9,18 : 6,53: -0,89. Laju pertumbuhan penduduk Kupang adalah 0,58.
 Namun ada juga kecenderungan konflik antar komunitas agama yang akhirnya bermuara pada kekerasan terjadi di daerah-daerah yang mempunyai komposisi agama secara demografis berimbang.

Mengapa Kekerasan Politik agama terjadi ?
 Salah satu eksplanasi yang menarik diberikan oleh pendekatan psikologis, yang berasumsi bahwa semua fenomena politik, termasuk tindak kekerasan politik agama, bermula dari pikiran manusia.
1. Berdasarkan asumsi tersebut upaya menemukan penyebab dasar kekerasan politik dipusatkan pada faktor psikologis yaitu perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan. Secara ringkas, argumennya adalah bahwa kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi (Gurr:1970).
2. Insecurity, perasaan tidak aman, terancam oleh kehadiran kelompok lain karena dianggap menjadi ancaman terhadap eksistensinya. Hal ini menimbukan terbangunnya budaya siap perang, yang sangat mudah dimobilisasi elite

Religious Nationalism
 Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah kerusuhan yang timbul di Ketapang, Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan material? Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teorisasi tentang “Religious-nationalism” yang para pendukung terbagi dua aliran.
 Para teorisasi Religious nationalism yang beraliran Primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, seperti ungkapan kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan sebagainya.
 Sebaliknya, para teorisi religious –nationalism yang beraliran situasionalist-instrumentalist menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta ancaman terhadap eksistensinya. Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.

Instrumen elite?
 Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly (1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang berubah. Dengan kata lain, kekerasan politik terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan politik merupakan hasil kalkulasi politik.
 Berdasarkan alur pemikiran di atas dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu pertama, kelompok teoritisi yang berpendapat bahwa tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu kedua, para pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategi dan keputusan taktis.

Tiga Faktor utama
1. Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi bagi munculnya kekerasan kolektif.
2. Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik. Perasaan frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan tidak akan menimbulkan tindak kekerasan politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan komunitasnya.
3. Negara yang tidak effektif dalam mengelola konflik dalam masyarakat. sehingga frustasi dan proses mobilisasi ini mendapatkan peluang. Hal ini dikenal dengan proses pembiaran.

Latar Belakang Kondisi-kondisi Pemicu
 Ketika argumen teoritis bahwa tindak kekerasan dimulai dengan adanya faktor yang melatar belakangi mobilisasi politik maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ?
 Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu. Pertama, seberapa parah tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar besar perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan kolektif.
 Kedua, ketegasan identitas dan kohesi kelompok. Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian, perumusan simbol-simbol bersama dan upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka semakin besar potensi untuk terjadinya konflik.
 Salah satu pemicu penguatan frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A. Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, struktur okupasi (pekerjaan) melekat pada agama dan etnis tertentu.
 Dengan demikian struktur ekonomi dan peta demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan identitas. Kasus tragedi Maluku merupakan cotoh yang gambang tentang hal ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial terbangun dalam pemilahan sosial yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim.
 Sejak Orde Baru, terjadi perubahan konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi. Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik serta menguasai sektor ekonomi.
 Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser” dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti yang disampaikan dalam data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan sekularisme modernisme. Identitas teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok komunal memobilisasi komunitasnya untuk melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi.

Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk
 Walaupun secara gamblang tulisan ini berpihak pada pendapat yang mengatakan bahwa konflik agama bukan konflik identitas an sich, dengan memperhatikan perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan lain-lainnya, tetapi ada beberap hal yang turut menjadi perhatian dalam tulisan ini teruatama dari argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian.
 Bahwa, konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen apakah yang membuat demokrasi bisa bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di Italia maka modal sosial (social capital) justru menjadi elemen yang penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konsepsi Putnam, modal sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi horisontal antar warga yang di dalamnya terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma-norma terkait yang mempunyai pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas. Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi dan warga dalam komunitas maka semakin tinggi warga mempunyai kemampuan dalam menerapkan demokrasi.
Modal sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community).
Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan, keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan mempercayai (mutual trust) satu sama lainnya.
Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan mutual trust yang sempat goyah akibat pertikaian antar komunitas Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa usaha yang bisa dibangun untuk merintis kembali mutual trust antar komunitas Agama;
Pertama, mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah. Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan.
Kedua, mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka dan stereotype. Salah satu isu yang mendominasi dialog-dialog antar komunitas agama di Indoensia dan seringkali menimbulkan prasangka adalah isu Kristenisasi dan Islaminisasi. Sehingga perlu dikembangkan kembali dialog yang intensif mengenai dua isu ini.
Ketiga, mutual trust akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.

Pelembagaan Modal Sosial
 Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik melalui institusi tradisional seperti adat (Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan kepentingan publik lainnya.
 Pelembagaan konflik melalui institusi –institusi sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami krisis legitimasi dan kredibilitasnya. Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar yang dibentuk berdasarkan agama.

Effective dan Legitimate State
Kekerasan seringkali fenomenal ketika Negara lemah weak state). Sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk melindungi warga negara dengan memberikan rasa aman. Beberapa agenda yang harus diperjuangkan:
  1. Negara harus berani hadir untuk melindungi civil liberties (hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi), termasuk dari ancaman kekerasanà prinsip negara hukum (negara Konstitusional)
  2. Negara harus nya menjamin terbukanya ruang publik yang leluasa sehingga berlangsung dialog-dialog yang intensif antar komunitas agama.

PLURALISME, KONFLIK DAN PERDAMAIAN (*)

Oleh: AA.GN. Ari Dwipayana**

Pengantar
Pada beberapa tahun belakangan ini bukan hanya terjadi gelombang demokratisasi secara global, melainkan juga kebangkitan nasionalisme dan munculnya kembali konflik etnik (1). Setidaknya hal tersebut diwartakan secara terang benderang oleh Samuel P Huntington ketika menulis sebuah buku yang diberi judul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order pada tahun 1996. Secara gamblang buku tersebut mengkisahkah transformasi pola konflik yang terjadi di politik domestik maupun global setelah perang dingin usai, dari konflik yang bersumber pada ideologi menjadi konflik politik yang berbasiskan identitas. Lebih jauh Samuel P Huntington membaca bahwasanya politik global akan ditandai oleh politics of civilitation sedangkan politik domestik adalah politics of ethnicity (2). Dalam politik identitas, pertanyaan yang paling penting adalah who are we ? Sehingga, berbagai komunitas dalam masyarakat akan merumuskan diri mereka sendiri dalam tema-tema kultural seperti kesamaan agama, bahasa, sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga.
Dalam penguatan kembali politik identitas itu, nasionalisme dan konflik etnik seringkali lebih dipandang sebagai fenomena milik dunia ketiga. Asia dan terutama Afrika mengalami kekerasan etnik berkadar tinggi selama masa perang dingin. Menurut perkiraan kasar, paling tidak setengah dari negara-negara Sub Sahara Afrika- termasuk Angola, Mozambiq, Rawanda, Burundi, Zaire, Uganda, Ethiopia, Somalia, Suda, Chad, Nigeria, Liberia, Zimbabwe dan Afrika Selatan- semnjak kemerdekaannya telah mengalami perangs audara maupun matinya ribuan orang karena kekejaman yang dilandasi yang dilandasi pengelompokan etnis atau ras. Korban jiwa akibat kegagalan mengelola politik etnsitas sungguh sangat mengerikan; setengah juta orang mati dan sebelas juta orang mengungsi akibat pembagian anak benua India pada tahun 1947; diperkirakan satu juta orang mati selama perang saudara di Negeria (1967-1970); ratusan ribu orang tewas selama teror etnik dan teror politik Idi Amin Dada (1971-1979); puluhan ribu orang tewas dan 600.000 orang terlantar selam satu dasawarsa perang saudara yangs ampai sekarang masih berlangsung di Srilangka dan diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi akibat peperangan di negara bekas Yugoslavia, lebih dari seratus ribu orang tewas dan setengah juta orang mengungsi akibat meletusnya peperangan di Rwanda pada tahun 1994 antara kelompok mayoritas Hutu dan kelompok minoritas Tutsi yang pernah menguasai kaum feodal. Bahkan berakhirnya perang dingin, era mundurnya ideologi seperti ditulis oleh Daniel Bell bukan berarti meredanya representasi kekerasan etnik dalam politik domestik.
Dalam konteks kekinian, dengan munculnya gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia, konflik etnik sekali lagi dianggap sebagai sebuah hambatan utama bagi demokratisasi yang berhasil. Atas dasar sejumlah alasan, Horowitz bahkan berani mengatakan bahwa keetnikan merupakan tipe perpecahan yang paling sulit dikelola oleh demokrasi. Karena etnisitas menyentuh persolan budaya dan bersifat simbolik- yakni ide dasar tentang identitas dan kepribadian, serta penghargaan dan penamaan individu dan kelompok- maka konflik yang ditimbulkannya secara intrinsik kurang dapat dikompromikan dibandingkan dengan konflik yang berkenaan dengan persoalan materi (3). Kegagalan untuk mengelola keetnikan ini justru berakhir pada kekerasan yang merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Dengan demikian kekerasan etnik yang muncul di pelbagai negara di Asia dan Afrika justru membahayakan proses konsolidasi demokrasi paska kolonial yang sedang dijalankan di negara-negara tersebut. Rezim demokrasi konstitusional di Srilangka, Libanon dan Nigeria telah dihancurkan atau ‘dicabik-cabik’ oleh konflik etnik yang mengakibatkan perang saudara. Di belahan Afrika lainnya, tuntutan untuk membangun bangsa dan mempersatukan negara-negara yang memiliki keragaman etnik seringkali dikenalkan sebagai dasar pembenar untuk memberlakuan pemerintahan otoriter-militeristik (seperti terjadi di Kenya), atau sebagai legitimasi untuk membatasi kebebasan sipil dan kebebasan politik (dalam kasus di Malaysia dan Singapura) (4).
Perbincangan mengenai hubungan antara konflik etnik (dalam arti luas termasuk di dalamnya konflik komunitas agama) dengan demokrasi, membawa pada serangkaian pertanyaan yang merupakan pergulatan fundamental yang dihadapi oleh setiap negara bangsa (nation state) modern, bagaimanakah identitas kelompok yang khas dan bahkan antagonistis dapat didamaikan dengan misi negara bangsa ? Lebih khusus lagi, bagaimanakan perdamaian itu dapat diwujudkan dalam sebuah negara yang demokratis ? Dapatkah kemajemukan etnik dan demokrasi didamaikan? Jika dapat, bagiaman cara mendamaikannya ?
Menurut pendapat saya, dilema nation state modern itu hanya bisa terpecahkan apabila kita mempunyai pemahaman yang mencukupi mengenai gejala kebangkitan politik identitas dan kekerasan ‘etnik’ (agama). Tanpa pemahaman awal tentang itu, maka analisa akan lebih banyak terjebak pada jawaban-jawaban yang bersifat spekulatif, reduksionis dan deterministik. Mengapa kekerasan ? Jawabannya sangat sederhana karena kekerasan merupakan bentuk konflik yang negatif (destruktif). Dengan munculnya kekerasan berarti konflik belum atau bahkan tidak bisa dikelola dengan baik. Dan itu berarti mekanisme dan instrumen untuk mengelola konflik, seperti format demokrasi, atau bahkan bangun nation state, masih perlu dipertanyakan. Oleh karena itu, tulisan ini akan lebih memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa kebangkitan politik identitas dan semakin luasnya jumlah dan intensitas kekerasan politik yang menggunakan sentimen Agama. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Pertama, bagaimana karakteristik tindak kekerasan yang menggunakan sentimen-sentimen agama ? Kedua, mengapa tindak kekerasan berbasisikan agama terjadi? Apa saja kondisi-kondisi yang menjadi latar belakang tindak kekerasan agama ? Dan terakhir mengapa kondisi-kondisi itu muncul ?
Kekerasan ‘Komunitas’ Agama di Indonesia
Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik identitas terasa semakin terang benderang terutama sejak kejatuhan rejim Soeharto pada bulan Mei 1998. Setidaknya, bangkitnya kembali politics of identity ini terlihat dari munculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Papua dan Kupang. Kedua, terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama, seperti yang terjadi pada peristiwa Ketapang, Mataram, Kupang, serta Maluku.
Ada beberapa bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia. Pertama, kekerasan fisik seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan Mesjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun terbunuh. Bentuk kekerasan yang kedua adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernada melecehkan sesuatu agama.
Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa berasal dari setiap kelompok agama di Indonesia. Namun, belajar dari kasus-kasus yang muncul di Ketapang, Maluku, Poso, Mataram serta Kupang maka bisa ditemukan sebuah kecenderungan bahwasanya sebagian besar kekerasan politik agama yang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan komunitas Kristen. Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan Kristen teridentifikasi melalui ikat kepala dan identitas nama kelompok yang bertikai anatara kelompok merah (obet) dan kelompok putih (acang).
Dari data statistik, Kabupaten/ Kota yang menjadi ajang pengrusakan Mesjid dan gereja, dapat dilihat bahwa pengrusakan gereja terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Islamnya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Kristennya melebihi laju pertumbuhan umat Islam di daerah tersebut. Sebaliknya pengruskan Mesjid terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Kristennya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Islamnya melebihi laju pertumbuhan umat Kristen di daerah tersebut. Misalnya di Kupang, prosentase umat Islam : Katolik: Protestan ialah 6,7 : 11,47 : 80,79. Laju pertumbuhan umat Islam : Katolik: Protestan ialah 9,18 : 6,53: -0,89. Laju pertumbuhan penduduk Kupang adalah 0,58. Namun ada juga kecenderungan konflik antar komunitas agama yang akhirnya bermuara pada kekerasan terjadi di daerah-daerah yang mempunyai komposisi agama secara demografis berimbang.
Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945-1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam (5).
Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998) tercatat tidak kurang dari 456 gereja dirusak, ditutup maupun diresolusi. Perusakan gereja yang terjadi setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1996 sampai dengan akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi.
Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01 %) dirusak, dibakar dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45 %), tahun 1998 tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26 %) dan tahun 2000 tercatat 53 gereja (11,2%).
Berdasarkan tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia meliputi 76 Kabupaten/ Kota. Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak terjadi di Jawa (273 gereja/ 57,72 %) dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja/ 42,28 %). Pengrusakan gereja lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52 %) dibandingkan kota pedalaman (182 gereja/ 38,48 %)
Denominasi gereja dibedakan atas Protestan, Pantekosta dan Katolik. Dari 473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74 %), Pantekosta (179 gereja/ 37,84 %) dan Katolik ( 54 gereja/ 11,42 %). Apabila dibedakan menjadi Jawa dan luar Jawa maka komposisi pengrusakan di Jawa ialah Protestan (23 %), Pantekosta (28,75 %) dan Katolik (27 %). Sedangkan di luar Jawa, Protestan (27,48 %), Pantekosta (9,09 %) dan Katolik (5,71 %).
Berdasarkan jenis kekerasan yang dilakukan dari 473 gereja tercatat 446 gereja (94,29 %) mengalami kekerasan fisik dan 27 gereja yang mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik lebih banyak terjadi di Jawa (25 gereja) dibandingkan dengan di luar Jawa (2 gereja).

Mengapa Tindak Kekerasan Politik Agama Terjadi ?
Salah satu eksplanasi yang menarik diberikan oleh pendekatan psikologis, yang berasumsi bahwa semua fenomena politik, termasuk tindak kekerasan politik agama, bermula dari pikiran manusia. Berdasarkan asumsi tersebut upaya menemukan penyebab dasar kekerasan politik dipusatkan pada faktor psikologis yaitu perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan. Secara ringkas, argumennya adalah bahwa kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi (Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan berdasarkan agama.
Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah kerusuhan yang timbul di Ketapang, Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan material? Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teorisasi tentang “Religious-nationalism” yang para pendukung terbagi dua aliran. Para teorisasi Religious nationalism yang beraliran Primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, seperti ungkapan kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious –nationalism yang beraliran situasionalist-instrumentalist menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta ancaman terhadap eksistensinya. Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.
Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly (1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang berubah. Dengan kata lain, kekerasan politik terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan politik merupakan hasil kalkulasi politik.
Berdasarkan alur pemikiran di atas dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu pertama, kelompok teoritisi yang berpendapat bahwa tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu kedua, para pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategi dan keputusan taktis.
Untuk memberi jembatan teoritik terhadap dua kubu tersebut, kita bisa kembali pada pendapat Theda Scokpol, ketika Scokpol melakukan penelitian tentang revolusi yang bisa gunakan untuk analisis tentang kelompok etnik dan komunal yang aktif dalam politik. Menurut Scokpol, mobilisasi politik akan ditentukan oleh dua faktor yakni Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi bagi munculnya kekerasan kolektif.
Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik. Perasaan frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan tidak akan menimbulkan tindak kekerasan politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan komunitasnya.

Latar Belakang Kondisi-kondisi Pemicu
Ketika argumen teoritis bahwa tindak kekerasan dimulai dengan adanya faktor yang melatar belakangi mobilisasi politik maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ?
Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu. Pertama, seberapa parah tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar besar perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan kolektif.
Kedua, ketegasan identitas dan kohesi kelompok. Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian, perumusan simbol-simbol bersama dan upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka semakin besar potensi untuk terjadinya konflik.
Salah satu pemicu penguatan frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A. Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, struktur okupasi (pekerjaan) melekat pada agama dan etnis tertentu.
Dengan demikian struktur ekonomi dan peta demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan identitas. Kasus tragedi Maluku merupakan cotoh yang gambang tentang hal ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial terbangun dalam pemilahan sosial yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim.
Sejak Orde Baru, terjadi perubahan konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi. Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik serta menguasai sektor ekonomi.
Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser” dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti yang disampaikan dalam data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan sekularisme modernisme. Identitas teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok komunal memobilisasi komunitasnya untuk melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi.

Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk
Walaupun secara gamblang tulisan ini berpihak pada pendapat yang mengatakan bahwa konflik agama bukan konflik identitas an sich, dengan memperhatikan perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan lain-lainnya, tetapi ada beberap hal yang turut menjadi perhatian dalam tulisan ini teruatama dari argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian. Bahwa, konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen apakah yang membuat demokrasi bisa bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di Italia maka modal sosial (social capital) justru menjadi elemen yang penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam masyarakat (6). Dalam konsepsi Putnam, modal sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi horisontal antar warga yang di dalamnya terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma-norma terkait yang mempunyai pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas. Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi dan warga dalam komunitas maka semakin tinggi warga mempunyai kemampuan dalam menerapkan demokrasi.
Modal sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community). Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan, keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan mempercayai (mutual trust) satu sama lainnya.
Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan mutual trust yang sempat goyah akibat pertikaian antar komunitas Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa usaha yang bisa dibangun untuk menrintis kembali mutual trust antar komunitas Agama; pertama, mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah (7). Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua, mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka dan stereotype (8). Ketiga, mutual trust akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.
Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik melalui institusi tradisional seperti adat (Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan kepentingan publik lainnya. Pelembagaan konflik melalui institusi –institusi sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami krisis legitimasi dan kredibilitasnya. Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar yang dibentuk berdasarkan agama. Dari mana resolusi konflik harus di mulai ?
_______


Referensi:
  • Perilaku kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penelitian oleh P3PK-UGM bekerjasama dengan Departemen Agama, 1997.
  • Thomas Santoso, Potret Kekerasan Politik- Agama dalam Era Reformasi, Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.
  • Theda Scokpol, Negara dan Revolusi Sosial, Penerbit Erlangga, 1991.
  • Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, Simon & Scuster, New York, 1996.
Catatan kaki:
  1. (*) Disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam Seminar Sehari “Pluralisme, Konflik dan Perdamaian”, yang diselenggarakan oleh Interfidie di Bengkulu, 6 September 2001.
  2. **Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM Yogyakarta dan Peneliti di Instititute for Reasearch and Empowerment (IRE) Yogyakarta.
  3. (1) Dalam bukunya yang berjudul “Ethnic Group in Conflict” (1985), Donald Horowitz menggunakan istilah etnik untuk menunjukan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif bersakala besar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal-usul, keanggotaan yang berdasarkan atas kekerabatan dan secara khusus menunjukan kadar kekhasan budaya. Dengan pemahaman semacam itu, maka etnik dengan mudah mencakup kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Etnik juga mencakup suku bangsa, ras, kebangsaan, dan kasta. Lebih jauh Horowitz mengatkan bahwa meskipun sifatnya diperoleh secara askriptif (keturunan), etnik tidak sepenuhnya bersifat abadi (walaupun nampaknya demikian pada situasi konflik tertentu) karena batas-batas kelompok dapat berubah jika kelompok-kelompok itu terpecah-belah; bergabung dengan kelompok lain, mengalami erosi, bersatu, dan mendifinisikan dirinya kembali dari waktu ke waktu (sebagaian dilakukan dengan jalan manata atau menciptakan kembali mitos kesamaan asal-usul). Biasanya, jika batas-batas etnik tidak dipelihara melalui ciri-ciri fisik yang tegas, bisa ada sejumlah orang yang menyebrangi garis-garis batas etnik tersebut.
  4. (2) Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, Simon & Scuster, New York, 1996.
  5. (3) Konflik etnik yang hanya menyangkut perebutan materi seringkali lebih mudah diselesaikan melalui perundingan konvensional. Akan berbeda halnya apabila konflik etnik itu menyangkut konsepsi tentang moralitas (kebrenilaian) dan keabsahan.
  6. (4) Lebih jauh lihat dalam tulisan Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Nationalism, Ethnic Conflict and Democarcy, The John Hopkins University Press and The National Endowment for Democracy, 1994.
  7. (5) Karena pertimbangan akses data, tulisan ini hanya menampilkan data-hanya tindak kekerasan terhadap komunitas Kristen.
  8. (6) Wilk, Ricard, 1996, Economic and Cultures, Coilorado; Vewstview Press.
  9. (7) Saya kira semangat rekonsiliasi ini dikedepankan oleh Paus Paulus II ketika beliau meminta maaf atas kesalahan Gereja di masa lalu, baik pada kaum Yahudi maupun Gereja Ortodox.
  10. (8) Salah satu isu yang mendominasi dialog-dialog antar komunitas agama di Indoensia dan seringkali menimbulkan prasangka adalah isu Kristenisasi dan Islaminisasi. Sehingga perlu dikembangkan kembali dialog yang intensif mengenai dua isu ini.

23 Mei 2008

Guru Sahabat Siswa

Oleh : Sartana*

“berhentilah berdendang, bernyanyi dan
menghitung-hitung lokan ini !
Siapakah yang tuan puja di sudut kuil sunyi gelap ini,
sedang pintu tertutup pula ?
Bukalah mata tuan dan lihatlah,
Tuhan tuan tak ada di hadapan tuan,
Dimana petani meluku tanah yang keras,
di mana pembuat jalan memukul batu,
Di situlah Dia,
Bersama orang-orang ini Ia berpanas,
berhujan dan pakaianNya dilekati debu,
Tinggalkanlah pakaian sucimu dan
turunlah ke tanah yang berdebu itu,
Seperti Dia,
Kebebasan ? dimanakah terdapat kebebasan ?
Junjungan kita sendiri menerima dengan ria ikatan ciptaanNya,
Untuk selamanya Ia terikat pada kita,
Bangkitlah dari semedi dan
hentikanlah memakai bunga dan bau-bauan,
Meskipun pakaian tuan usang dan kotor, takutkan apa ?
Carilah Dia dan tolonglah Dia dalam bekerja,
Dengan keringat di kening tuan” (Rabindranat Tagore)

Menjadi sahabat murid adalah keinginan yang turut menyemangati saya untuk melakukan pembaharuan dalam pembelajaran agama. Siswa yang mempunyai latar belakang beragam, siswa yang kritis, siswa yang memberi harapan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, adalah alasan penting bagi saya untuk mengupayakan sebuah pembelajaran yang terbaik untuk mereka.
Sebagai seorang guru saya merasa lebih bangga memposisikan sebagai seorang sahabat bagi para siswa daripada seorang penguasa di kelas. Saya berfikir bagaimana mengupayakan sebuah kelas yang menyenangkan dan berbekas dalam proses pembentukan kepribadian anak-anak didik saya. Salah satu upaya membuat kelas yang menyenangkan adalah pembelajaran dengan proyek observasi ke lapangan atau terjun ke masyarakat khusus kelas.
Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dengan metode observasi lapangan ini, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga sebagai sumber belajar langsung, diantaranya adalah Panti Wreda Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta, Panti Wreda Hanna Surokarsan Yogyakarta, Departemen Hukum dan HAM Propinsi DIY beserta jajaran Lembaga Pemasyarakatan (LP) kelas IIA Wirogunan Yogyakarta, RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dengan laboratorium forensiknya dan Kantor Gubernur DIY. Melalui metode ini kami mempertemukan siswa dengan Wagub Sri Paku Alam IX belajar tentang budaya khususnya Jawa, bertemu dengan beberapa anggota masyarakat yang bergerak dibidang usaha pembuat batu nisan, mengunjungi para seniman dan seniwati untuk belajar tentang sovinisme budaya.
Untuk kelas 2 sekarang sudah upaya pengembangan dengan metode pendampingan masyarakat, khususnya pendampingan anak-anak sekolah di RW 01/RT01 kalurahan Kota Baru di sekitar lembah Code Utara. Kami membuat kerjasama dengan wilayah tersebut sebagai lingkungan binaan dari SMA BOPKRI 1 Yogyakarta.
Dalam mengupayakan terobosan pengembangan ini saya sadar harus ada pengorbanan lebih dulu, harus ada contoh pendampingan lebih dulu. Di luar itu semua, adalah sebuah pilihan non konvensional di mana sebagai guru saya melepaskan diri dari keterikatan dengan kurikulum dan beban-beban administratif yang menyertainya. Pilihan ini tentu menimbulkan pertentangan, bahkan kecaman dari lingkungan kerja. Terutama karena di sebuah sekolah Kristen sebagai guru agama saya tidak mengajarkan agama Kristen tetapi nilai-nilai universal yang ada dalam agama-agama. Lebih baik saya membebaskan anak-didik saya dari kotak-kotak primordial mereka untuk mampu mendialogkan nilai-nilai agama dengan realitas hidup konkret mereka. Bagi saya hal ini lebih dibutuhkan sebagai bekal mereka di masa datang.
Buah dari upaya ini adalah perkembangan anak-anak yang saya dampingi melesat jauh, karena belajar langsung dari masyarakat dengan kekuatan mereka sendiri. Hal istimewa yang saya dapatkan dari kehendak untuk menjadi sahabat para siswa adalah semua anak yang saya dampingi mengenal, menyapa dan menghormati saya sebagai sahabat dalam belajar. Saya juga mengenal anak-anak yang saya dampingi satu persatu dengan baik. Jadi hubungan intrapersonal terasah dengan baik. Di sini lah kami mendapatkan satu tempat untuk bisa berkembang bersama. Bukankah ini juga bagian dari pendidikan yang sangat penting?

Thinking Smart
Ungkapan ini terucap dari siswa kelas XI IPS 2 ketika berhasil mempresentasikan hasil observasi di lembah Code, Utara Kota Baru Yogyakarta. Ungkapan ini terkait hasil observasi yang ternyata juga dipakai untuk laporan pengabdian masyarakat, karena kelas XI ada kegiatan wajib pengabdian masyarakat maka dengaan demikian kelas XI IPS 2 sudah selesai dan tinggal melaporkan saja kegiatan tersebut dalam bentuk buku laporan lengkap dengan dokumentasinya. Thinking smart, berpikir cerdas, satu kali melangkah beberapa tujuan dan kepentingan tercapai. Senang rasanya memiliki siswa yang cepat sekali belajar dari pengalaman keadaan dirinya beserta sumber belajarnya. Para siswa bukan hanya memahami bagaimana situasi masyarakat dan bagaimana terlibat mendampingi mereka, tetapi lebih dari itu adalah belajar bagaimana mengelola kesempatan dan fasilitas yang ada dalam aktivitas pendampingan.

Religion Have Fun
Meski bukan mata pelajaran yang dianggap keren, tidak diujikan, namun penting untuk dipikirkan bagaimana pelakaran yang saya ampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika ada siswa kelas XA, kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang melontarkan pelajaran religiositas sebagai religion have fun adalah ungkapan spontan yang membanggakan. Siswa ini melihat dan menikmati proses pembelajarannya dan sangat bersukacita ketika berhasil mempresentasikan hasil observasinya tentang penjaga kamar mayat RSUP dr. Sardjito Yogyakarta bersama timnya. Mereka memperoleh pengajaran yang mengesankan, bahwa seluruh karya, pekerjaan dan hidup manusia itu ternyata harus dipertanggungjawabkan.
Perkenalan dengan orang dari berbagai profesi yang umumnya tidak diperhitungkan, yang pluralis, beriman dan nasionalis membuka kesadaran tentang apa makna pekerjaan dan pertanggungjawaban dalam hidup. Suatu kesadaran yang sungguh mencerahkan bagi anak-anak jaman sekarang yang umumnya hanya mengkonsumsi pembelajaran yang instant. Maka mata pelajaran yang dikelola dengan metode ini menjadi sesuatu yang menggairahkan dan membahagiakan.

Refreshing Class
Kalimat ini muncul dari siswa-siswa yang saya dampingi, saya melihat gairahnya dalam belajar di kelas religiositas, pelajaran lain yang sangat berat dan menumpuk tugasnya juga tanggungjawab yang tidak ringan, ternyata masih ada kelas bisa untuk refreshing, senang melihat mereka para siswa bisa menikmati proses pembelajarannya di kelas religiositas. Saya bisa merasakan bagaimana beban kurikulum yang sedemikian berat dan melelahkan. Biarlah mereka menikmati ‘refreshing-nya’ pembelajaran religiositas. “Refreshing class”, muncul tanpa saya minta untuk diucapkan, kalimat dan kata itu keluar dari hati mereka, tulus dan polos. Dengan itu semua saya bahagia marem, karena mempunyai harapan bahwa apa yang saya lakukan kini ada dampaknya di masa datang bagi kehidupan pribadi siswa maupun masyarakat.

* SARTANA Pendidik di SMA BOPKRI 1 Jogjakarta

17 April 2008

Pembelajaran Kontekstual "Belajar dari Erin Gruwel melalui Film Freedom Writers"


Pengantar
Film Freedom Writers adalah film kisah nyata dari Erin Gruwell, yang berikisah tentang perjuangan seorang Guru dalam meotivasi siswanya untuk belajar. Kelas yang diampu Gruwell di ruang 203 adalah kelas unik yang berisi siswa-siswa yang terlibat dalam pergaulan geng dan kekerasan. Sebagian besar siswa terlihat apatis dan terkesan meremehkan Gruwell yang muda, perempuan dan berpostur kecil. Dengan berbagai cara ia mencoba memahami situasi hidup siswa sehingga dia bisa membaca cara berfikir dan mencari apa yang menjadi daya tarik bagi para siswanya. Demi menumbuhkan minat belajar, cara-cara konvensional dia tinggalkan, tetapi melakukan cara-cara yang paling memenuhi kebutuhan siswanya.
Pada akhirnya Gruwell berhasil merebut perhatian para siswanya. Dengan cara-cara yang tidak konvensional ia berhasil menggerakkan proses pembelajaran yang bermanfat untuk kehidupan para siswa. Keberhasilan ini tertuang dalam catatan-catatan yang berisi refleksi tentang kehidupan pribadi yang keras yang dialami para siswa. Hal yang paling penting adalah bagaimana mereka berhasil melakukan pembelajaran yang lebih tinggi untuk mengembangkan martabat kemanusiaan mereka dalam buku kumpulan tulisan “Freedom Writers”.

Tahapan Pembelajaran Kontekstual ala Erin Gruwell
A. Mengenal Situasi Hidup
Pada awalnya Gruwell bingun bagaimana memulai karena dengan cara-cara biasa kelas menjadi tak terkendali hingga terjadi baku hantam. Memulai dengan mengenali nama menjadi awal yang tampaknya tidak berkesan untuk siswanya. Gruwell mulai coba-coba dengan memelibatkan syair-syair musik rap yang umumnya digemari, teteapi belum juga memotivasi. Ia pun mencoba memindahkan posisi para siswa agar terjadi interaksi yang berbeda, tetapi ini tidak memberikan dampak yang diharapkan. Akhirnya dari komentar, bantahan, diary yang dibaca Gruwell menangkap kegelisahan dan kegalauan yang sangat kentara. Di sinilah Gruwell menemukan titik tolak pembelajaran.

B. Mengajak siswa mengungkap segala pengalam hidupnya
1. Studi Kasus
Pada suatu ketika Erin Gruwell mendapati siswanya menggambar wajah yang bersifat stereotype pada siswanya yang berkulit hitam (black America). Bagi Gruwell, munculnya stereotype ini menandai ada ketidaknyamanan yang terpendam, semacam kecemasan. Maka masalah kecemasan di kalangan siswanya ini dicoba untuk diungkap, dibicarakan secara terbuka dan mendalam.

2. Mengaitkan dengan persoalan kemanusiaan yang lebih besar
Kebetulan ada siswanya yang belum memahami arti kata holocaust. Pertanyaan ini ditangkap oleh Gruwell untuk dijadikan pemicu rasa ingin tahu dengan cara mengkaitkan kecemasan hidup para siswa dengan peristiwa-periswa tragis dalam sejarah hidup manusia secara menyentuh. Erin Gruwell mempertemukan para siswanya dengan para saksi sejarah setelah cukup informasi dari museum holocaust. Dengan demikian memungkinkan para siswa menatap secara lebih lugas makna kekerasan dalam sejarah kemanusiaan.

3. Menggunakan permainan untuk menggali pengalamn hidup
Kepentingan dari permainan ini adalah untuk mengajak siswa membandingkan konteks hidup mereka masing-masing dengan konteks antar mereka. Mereka juga diposisikan untuk memuturkan pengalam-pengalam yang sama, yang membuat mereka mempunyai ikatan satu dengan yang lain.

4. Meminta siswa menulis diary
Erin Gruwell meminta siswanya menulikan kecemaan, pengalam dan kegalauan mereka ke dalam diary. Apa yang ditulis menjadi titik penting untuk mengembangkan pembelajaran. Dari pengalaman hidup yang keras dan sarat dengan dengan kekerasan Gruwell memahami konteks hidup dan model pembelajaran seperti apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk membantu dan menemani para siswa menemukan jalan membangun hidup yang lebih normal.

5. Pesta sederhana untuk perubahan
Para siswa yang mulai mampu memahami kecemasan dan mengambil jarak dengan hidupnya yang keras didorong untuk melakukan perubahan-perubahan dengan gembira. Gruwell menekankan sebuah penyadaran dengan memberi tekanan pentingnya perubahan dengan toast for change, sekedar mengangkat dan menyentuhkan satu gelas dengan gelas yang lain untuk kemudian bersama-sama meminumnya, sebagai tanda ada sesuantu yang sangat berarti yang akan dilakukan setelah itu. Gruwell mencoba menghadirkan sebuah makna tentang hidup yang perlu dirawat, dihargai dan dikasihi.

C.Mengajak mengenali khasanah yang lebih luas dan inspirastif
1. Kunjungan ke musium korban holocaust
Dengan melihat gambar-gambar korban, ruang penyiksaan, sisa-sisa barang maupun kronologi peristiwa, para siswa dihadapkan pada sesuatu yang menyentak kesadaran yang akan berkembang pada pertanyaan-pertanyaan dan renungan tentang apa dan bagaimana manusia dan selanjutnya menumbuhkan kesadaran tentang makna hidup.

2. Bertemu dan berdiskusi dengan korban
Dalam pertemuan dengan para korban holocaust, para siswa tidak hanya mendapatkan dokumen atau sesuatu yang mati. Di sini para siswa juga langsung diajak masuk para aspek psikologis yang dituturkan oleh korban, sehingga peristiwa yang menyentak itu makin menyentuh.

3.Membaca buku diary Anne Frank
Bahan-bahan lain yang digunakan untuk memproses penguatan penyadaran ini adalah dengan membca buku pengalam hidup Anne Frank yang mengisahkan peristiwa tersebut menurut pengalaman pribadi.

4. Mengundang saksi
Untuk lebih menghidupkan kisah yang ada dalam buku Anne Frank, kelas yang diampu oleh Erin Gruwell mengundang saksi yang menolong Anne dalam peristiwa holocaust tersebut.

D. Membuat proyek bersama untuk mengekspresikan pemahaman dan pemaknaan baru tentang hidup
1. Menulis surat kepada saksi yang menemani Anne Frank
Setelah tugas membaca buku Anne Frank selesai, tugas selanjutnya bukan merangkum atau meresensi, tetapi menulis surat kepada saksi hidup Anne Frank. Dari surat ini akan terbaca apakah siswa yang bersangkutan membaca atau tidak. Surat tersebut juga akan memberi ilustrasi apakah metode ini mengena atau tidak membuat siswa tersentuh dan merefleksikan pengalaman hidupnya endiri atau tidak.

2. Mencarikan dana untuk mengundang saksi
Pembelajaran yang dilakukan tidak dengan cara biasa ini ternyata mampu membangkitkan kesadaran baru, bahkan komitmen untuk bekerjasama dalam kegiatan mencari dana untuk mengundang saksi. Bazar atau pasar murah ini pun sesungguhnya mengandung pembelajaran tersendiri tentang makna kerja dan prestasi bagi mereka

3. Buku ‘Freedom Writers’
Proses pembelajaran ini berhasil karena tidak harus konvensional atau mengikuti aturan yang seragam, tetapi disesuaikan disesuaikan dengan konteks hidup para siswa. Kesanggupan baru yang dimiliki para siswa dalam mengelola hidupnya ini didokumentasi dalam buku yang merekam pembelajaran dari hidup pribadi, dalam judul Freedom Writers.

Catatan
Konsep pembelajaran yang konteksktual memungkinkan siswa mampu menerapkan pengeathuan yang dimiliki dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Purwono Nugroho Adi, 2008
katekis@yahoo.com

18 Maret 2008

Pendidikan Kesehatan dan Reproduksi (KESPRO) di Tengah Tantangan dan Harapan

Oleh Anis Farikhatin*

1. Resiko Perkembangan Tehnologi Informasi Terhadap Pergaulan Remaja
Perkembangan tehnologi telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Tehnologi elektronik misalnya; telah mempermudah akses pada informasi tak terbatas. Akan tetapi di sisi lain memunculkan persoalan yang sangat komplek di segala lini kehidupan, terutama bagi remaja. Persoalan yang muncul bisa bersifat medis, psikologis, maupun sosial-ekonomi. Hal ini disebabkan karena banjir informasi yang mereka terima tanpa saringan tersebut tidak diikuti dengan kesiapan intelektual, mental dan spiritual yang memadai.
Salah satu akibat dari banjir informasi yang tidak dihadapi dengan segala kesiapan ini adalah pola pergaulan remaja yang cenderung semakin bebas seiring dengan sikap para orang tua dan masyarakat yang semakin permisif (longgar). Tak pelak lagi kebebasan pergaulan ini sering berujung pada kejahatan seksual. Gejala yang bisa dilihat adalah banyaknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, maraknya tempat praktek pengguguran kehamilan (unsafe abortion) secara ilegal serta munculnya trauma akibat berbagai bentuk kekerasan seksual dan persoalan sosial-ekonomi yang muncul akibat berhenti sekolah.

Jika dicermati lebih lanjut, kenyataan tersebut merupakan fenomena gunung es dimana yang terlihat hanyalah yang dipermukaan, sedangkan keadaan riil dibawahnya berlipat-lipat jumlahnya namun masyarakat tidak peduli dan abai dengan sikap dingin. Gejala tersebut akan terus menguat seiring dengan berkembangnya konsumerisme-hedonistik. Para remaja mulai terbawa pada suatu pandangan bahwa remaja harus memiliki pacar; dan berkencan dalam proses. Yang lebih mengejutkan lagi mereka sudah mulai setuju terhadap hubungan seks pra-nikah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap siswa yang duduk di bangku sekolah pada tahun 2004 yang menghasilkan informasi sebagai berikut:
1)Jumlah remaja sekolah (SLTP & SLTA) di DIY sebanyak 64.928 siswa. 2)Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan akan menikah mencapai 72,5 % siswa laki laki dan 27,5 % siswa perempuan.

Selain itu Synovate Research yang meneliti perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, sejak September 2004 (survey ini mengambil 450 responden dengan kisaran usia antara 15-24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah menghasilkan informasi sebagai berikut: 1) Pengalaman seksual remaja : 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13-15 tahun. 2) Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan suka sama suka sebanyak 71.5% siswa laki laki dan 28,5 % siswa perempuan. Ketika para siswa tersebut ditanya mengenai proses terjadinya kehamilan, ada 86 % siswa baik laki laki maupun perempuan yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur (PSS PKBI 2004).

Jika kemudian ditanya lebih lanjut, siapa yang paling tidak berdaya menghadapi resiko dari pergaulan yang cenderung bebas tersebut? Jawabnya tentu saja perempuan. Bagaimana tidak, karena perempuanlah yang akan menanggung akibat paling berat, mulai dari pemaksaan, aborsi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) sampai HIV/AID. Keadaan ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan serta kekurang fahaman mereka tentang kesehatan reproduksi (kespro), khususnya masalah seksualitas. Hal tersebut diperparah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak memihak pada perempuan, seperti dikeluarkan dari sekolah bagi siswi yang kedapatan hamil. Keadaan seperti itu membuat kondisi kejiwaan mereka mudah rapuh sehingga mudah kehilangan jati diri, harga diri dan masa depan.

Sementara itu masyarakat dan para orang tua bersikap kurang peduli dan masih menganggap masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan. Tidak terkecuali para tokoh agama. Dalam masyarakat Islam menyelesaikan persoalan remaja lebih sering menggunakan pendekatan fiqih (hukum) yang menghakimi dari pada memberikan bimbingan, arahan yang bersifat dialogis solutif. Pemerintah juga terlihat kurang peduli karena menganggap permasalahan kesehatan reproduksi (kespro) masih dianggap belum serius dan tidak perlu menjadi prioritas karena sudah dianggap inhern dengan mata pelajaran agama, PPKn, IPS, dan biologi.

2. Pendidikan kespro sebagai solusi alternatif
Keadaan seperti di atas sudah mulai disadari oleh para orang tua dan juga guru, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan guru agama. Adapun tujuan pendidikan kespro adalah: 1) Memberikan dan mengelola pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi siswa. 2) Membangun sikap positif pada diri siswa untuk menghadapi persoalan seksualitas dan reproduksi 3) Membentuk perilaku siswa yang bertanggung jawab dalam konteks seksualitas dan reproduksi
Sekolah merupakan salah satu sektor pendidikan yang paling teroganisir dan mudah dikontrol. Upaya memasukkan materi kesehatan reproduksi ke dalam kelas merupakan sesuatu peluang berharga yang sangat memungkin untuk dilaksanakan meskipun dengan penerapan yang berbeda. Apalagi dengan mulai berlakunya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) memberi kesempatan yang luas bagi para guru untuk mengembangkan kreativitasnya dalam pembelajaran di kelas yang diampunnya.

Mengatasi masalah remaja yang terkait dengan masalah kesehatan dan reproduksi (kespro) merupakan masalah rumit dan kompleks. Ia tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja. Pendidikan kesehatan dan reproduksi bukanlah satu satunya ’jurus mabuk’ yang bisa menyembuhkan permasalahan remaja hanya dengan sekali pukul. Ia harus berjuang melalui berbagai kendala yang cukup menguras kesabaran mulai dari level birokrasi, level konsep, sampai pada level implementasinya di lapangan (proses pembelajaran di kelas). Terutama sekali pada level implementasi; karena setiap kegiatan pembelajaran akan berhadapan dengan masalah yang tidak kalah rumitnya, misalnya masalah kondisi (manajemen) tiap tiap sekolah yang berbeda; peserta didik yang berbeda latar belakangnya (ada SMK yang mayoritas putra/ putri, ada SMA yang komposisi siswa putra dan putrinya seimbang), situasi dan kondisi yang pada saat materi tersebut diajarkan, sarana apa yang diperlukan/ yang sesuai dengan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai, bagaimana pendekatan yang paling tepat digunakan dan sebagainya.

Dengan demikian. perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan,Dinas Pendidikan, BKKBN, PKBI, pemuka agama secara moril maupun materiil kepada para para guru pengampu materi kespro agar lebih mantap melangkah dengan penuh percaya diri.

3. Perlunya Pendidikan Kespro yang berorientasi pada nilai (Affective Oriented)
Pendampingan yang intensif melalui pertemuan rutin para guru pengampu untuk berbagi pengalaman sangat diperlukan untuk lebih melengkapi/ menyempurnakan materi, metode, media maupun pendekatan yang digunakan. Selain itu materi kesehatan reproduksi (kespro) perlu dikemas dengan strategi pembelajaran yang lebih berorientasi pada pendidikan affektif (nilai nilai).
Guru kespro dituntut untuk mampu menyajikan materi bukan sekedar untuk ”diketahui”; tetapi menjadi “nilai-nilai” yang diinternalisasikan dalam diri peserta didik agar mampu menjadi motivasi dalam bersikap, berbuat dan berperilaku secara kongkrit dalam kehidupan sehari hari. Tanpa hal tersebut pendidikan kespro hanya akan menyelesaikan masalah pada tingkat permukaan berupa menurunnya angka KTD (kehamilan yang tidak dikehendaki) dan aborsi (karena mereka tahu bagaimana melakukan savety sex); tapi tidak menyentuh pada akar persoalannya berupa pelecehan terhadap nulai-nilai hidup dimana aktifitas seksual tidak bisa hanya dimaknai sebagai rekreasi tetapi sesungguhnya mengandung nilai pro-kreasi di mana hidup harus dimuliakan. Untuk itu penting sekali pendidikan kespro diarahkan untuk menjadi bagian dari pendidikan untuk pemuliaan harkat dan martabat manusia melalui penguatan mental spiritual agar mampu berusaha menjadi manusia yang bertanggung jawab, terhormat dan membuktikan manusia sebagai mahluk yang mulia.

*Anis Farikhatin Pendidik di SMA PIRI 1 Jogjakarta

Kenakalan seksual Remaja Tantangan Pendidikan Karakter

Oleh: TH. Tri Harjanti

Berbicara tentang pornografi di kalangan pelajar akan selalu ada cerita yang membuat hati kita terkejut dan kelu. Mulai dari sekedar mencuri-curi melihat gambar mati porno, gambar porno bergerak, bahkan sampai pada pesta seks yang dilakukan suka sama suka atau pun ’jajan’. Trend terbaru adalah bergaya bugil di depan kamera dengan motivasi sekedar senang-senang ataupun dikomersialkan. Pelaku bukan hanya mahasiswa atau pelajar SMA, namun ada juga anak SMP yang notabene masih berusia 12-13-an tahun. Tentu saja sebagian besar pelajar tidak terlibat dalam ‘kenakalan seksual’ tersebut, namun dari pengakuan demi pengakuan pelajar yang telah ‘menyesal’ dapat menjadi jendela bahwa tidak sedikit pelajar yang terlibat. Sebuah situasi yang sangat ironis bahwa kemerosotan moral yang semakin meningkat justru terjadi dalam masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama dan moral.

Persoalan kemerosotan moral tentu tidak terlepas dari pendidikan. Dalam hal ini apa yang ungkapan Mahatma Gandi, salah satu dosa sosial terbesar sebuah masyarakat adalah ‘pendidikan tanpa karakter’(education without character) menjadi sangat relevan. Pendidikan tanpa karakter? Mungkinkah ini adalah akar dari permasalahan kemerosotan moral masyarakat kita khususnya kaum pelajar kita?

Ada beberapa hal menarik saat saya mencoba berbicara dari hati ke hati dengan siswa-siswa yang berkasus tersebut. Sebagai contoh, saat saya ‘ngobrol’ dengan seorang siswa yang bermasalah dan ‘minggat’ dari rumah karena terlanjur hamil. Siswa itu tahu bahwa tindakannnya tidak benar, siswa tersebut sudah dapat membedakan baik dan tidaknya sebuah tindakan, tetapi mereka masih tetap saja melakukan bahkan berulang-ulang.

Latar belakang keluarga-keluarga dari siswa-siswa yang berkasus memang rata-rata adalah keluarga yang berkasus juga. Maksud keluarga berkasus di sini adalah: keluarga salah dalam memberikan perhatian, misalnya semua keinginan anak selalu dipenuhi karena orang tua tidak tega melihat anak kecewa, Keluarga dengan kondisi single parent entah karena perceraian atau meninggal, Keluarga dengan kondisi sang ayah/ibu punya kebiasaan minum dan mabuk, Keluarga dengan kondisi orang tua super sibuk, Keluarga dengan kondisi ekonomi sangat rapuh. Keluarga baik-baik yang selalu mengajarkan berdoa dan tekun beribadah, namun anak kurang mendapat kesempatan atau diberi ruang untuk belajar mengambil keputusan.

Akibat yang paling ditakuti siswa berkasus (misal: hamil) adalah dimarahi orang tua dan dikeluarkan dari sekolah, sementara mereka masih tetap ingin bersekolah. Mereka tidak ingin masalahnya diketahui dan belum siap untuk menjadi orang tua. Maka banyak kasus remaja dengan masalah ini yang ingin menggugurkan kandungan dengan banyak cara, baik dengan menelan pil, pijat, atau pergi ke sebuah klinik ‘rahasia’.

Dalam hal ini remaja dengan masalah ini sesungguhnya tahu arti rasa malu, namun belum mampu bertanggung jawab atas tindakannya. Mereka mampu membedakan perbuatan baik dan buruk, namun belum bisa mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya karena mengalami krisis keteladanan dan kurang mampu menyikapi trend zaman (mengikuti trend tanpa melihat kondisi diri dan keluarga). Karena kurang mendapat kesempatan untuk belajar mengambil keputusan pribadi secara bertanggung jawab. Nilai-nilai hidup yang termuat dalam agama masih diterima secara indoktrinasi (dipaksakan), belum terimplementasi dalam kehidupan pelaku.

Permasalahan di atas sebenarnya bukan lagi rahasia, namun ada pendidik yang belum mengetahui permasalahan tersebut atau bersikap dingin atas situasi yang memprihatinkan ini. Persoalan lainnya adalah karena siswa yang bermasalah umumnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap lembaga sekolah atau bahkan terhadap pribadi guru untuk menjaga ‘rahasia pribadi’ siswa yang bersangkutan. Barangkali karena lembga sekolah lebih sering menghakimi secara sepihak dengan pemberian hukuman tanpa pendampingan yang tepat, atau mungkin remaja bersangkutan akan mendapat cap buruk sehingga akan menambah beban perasaan.

Dari beberapa hal tersebut tawaran pendidikan karakter sebagai usaha untuk mensikapi dan memperbaiki moralitas yang semakin menurun menjadi penting untuk ditanggapi dengan keterbukaan.

Penguatan Karakter
Menurut Doni Koesoema dalam buku “Pendidikan Karakter” (2007) karakter dipahami dalam dua sisi, yaitu: pertama, karakter adalah kondisi bawaan sejak lahir dan manusia tidak dapat menolaknya. Kedua, karakter adalah kemampuan seorang individu untuk mampu menguasai kondisi-kondisi tersebut.

Dengan melihat karakter dari dua sisi tersebut maka karakter dalam diri seseorang bukanlah harga mati (statis) namun dapat berubah (dinamis). Kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan karakter berkembang menjadi baik dan bukan sebaliknya. Karakter juga berkaitan erat dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan. Dengan demikian karakter bukan hasil/produk melainkan salah satu hasil usaha seseorang untuk mengatasi kondisi-kondisi tertentu .

Secara mendasar setiap tindakan manusia sebenarnya terkait dengan usaha untuk mempertahankan diri, memelihara, dan mengarah ke masa depan. Karakter yang dimiliki manusia sangat berperan saat pengambilan keputusan dan tindakan. Pribadi yang memiliki karakter yang baik dan dewasa akan mampu membuat serta mengambil keputusan dan tindakan yang baik (tepat) dengan motivasi yang baik pula. Mengingat bahwa tidak selalu seseorang yang berbuat baik dikarenakan memiliki motivasi yang baik atau berkarakter baik. Contohnya ada anak berbuat baik hanya karena takut dimarahi atau dihukum, atau supaya namanya baik, artinya belum berkarakter.

Setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh seorang manusia tentu tidak akan lepas pengaruhnya dengan kehidupan orang lain/masyarakat sekitar. Jika keputusan dan tindakan yang diambil baik, tentu akan berpengaruh baik pula untuk diri dan sekitarnya. Dengan demikian karakter selain bermuatan nilai-nilai moral selalu berkaitan dengan individu dan sosialnya. Kasus korupsi yang terjadi dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah bukti ketidakmatangan karakter kita sebagai bangsa.

Pendidikan karakter
Dengan pemahaman bahwa karakter dalam diri seseorang bersifat dinamis dan sangat berperan dalam penentuan masa depan baik diri maupun lingkungan sosialnya, maka perlu adanya usaha pendidikan yang mampu mengembangkan karakter seseorang.

Tujuan dari pendidikan karakter adalah menempa individu untuk menjadi semakin sempurna, seluruh potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh sehingga membuat dirinya semakin manusiawi. Jika karakter seseorang berkembang dan semakin menjadi manusiawi berarti pribadi individu tersebut mampu berelasi dengan baik tidak hanya dengan dirinya namun juga dengan orang lain dan lingkungannya, tanpa harus kehilangan kebebasannya. Dengan demikian individu tersebut mampu membuat keputusan dan tindakan yang bertanggungjawab dan tidak mudah disetir oleh keadaan apapun atau terbawa oleh arus-arus negatif disekitarnya.
Maka dapat dikatakan pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik, sehingga peserta didik menjadi paham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

Pendidikan karakter merupakan sebuah proses panjang bahkan seumur hidup, maka hasil dari proses tersebut belum dapat dirasakan saat itu juga seperti membalikkan telapak tangan. Usaha tersebut melibatkan semua pihak pendidik (keluarga, sekolah,masyarakat, bahkan pemerintah).
Dalam buku yang sama Doni Koesoema menawarkan beberapa pokok ajar dalam pendidikan karakter, yaitu: 1) Menanamkan semua keutamaan hidup dalam diri kaum muda, 2)Mengajarkan kemampuan menilai tentang banyak hal yang baik dan yang buruk secara adil (bukan hanya sekedar menjauhi hal-hal yang buruk, menerima yang baik, mencela hal-hal yang jelek, memuji hal-hal baik). Dengan menilai secara adil maka anak akan memiliki pemahaman yang benar dan terbawa dalam tindakannya. 3) Mengajarkan sikap ugahari (sikap ugahari: kemampuan mengaktualkan dan memuaskan dorongan-dorongan keinginan dalam diri serta tuntutan insting secara tepat dan seimbang) misal: berkaitan dengan makanan, saat istirahat/tidur/bangun, tahu kapan bicara dan kapan diam. 4) Mengajarkan sikap keteguhan (cara-cara mengalahkan diri sendiri, tahan menanggung kesulitan dan rasa tidak enak, optimis, tidak mudah mengeluh. 5) Mengajarkan bersikap adil berkaitan hidup bersama orang lain sebagai bentuk penghargaan pada hak orang lain. 6)Mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan yang membutuhkan kerja keras. Menjalankan tugas dengan semangat, kesungguhan hati. Maka kerja keras, capai, lelah, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. 7) Mengajarkan kesiapsediaan melayani dan memikirkan orang lain. Kesadaran bahwa kita dilahirkan di dunia bukan semata-mata untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain.

Masih sangat terbuka akan nilai-nilai keutamaan lain yang dapat diajarkan dalam pendidikan karakter ini, namun hal yang sangat mendasar bahwa pendidikan karakter bukan hanya sebuah teori maka diandaikan selalu ada keteladanan. Bagaimana mungkin pendidik mengajarkan cinta dan kejujuran jika hal tersebut tidak dihayati.

Menjadi hal yang sangat penting bahwa penanaman keutamaan dalam pendidikan karakter ini dilaksanakan sejak usia dini. Pendidikan karakter menjadi usaha yang sangat serasi untuk menghidupi pendidikan agama dalam usahanya membantu peserta didik menjadi pribadi yang merdeka dan bertanggung jawab atas diri dan sekitarnya. Demikian juga sebaliknya, pendidikan karakter akan sangat terdukung dengan tumbuh di dalam pribadi remaja dengan pilar-pilar agama yang termuat dalam pendidikan agama.

Peran Pendidik
Menurut Doni Koesoema.A dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter memahami hakikat pendidikan dalam dua penekanan, yaitu: pertama,pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mendewasakan sekaligus mengembangan seluruh potensi pribadi manusia. Kedua,dalam pendidikan terjadi proses pembimbingan dimana terdapat dua relasi antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Berkaitan denga hal ini, J. Oei Tik Djoen, SJ seorang tokoh dan praktisi pendidikan, menekankan dalam setiap proses pendidikan, harus disadari dan dihormati penuh kebebasan setiap pribadi, karena kebebasan adalah anugerah dari Tuhan kepada setiap individu.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka setiap pendidik perlu mengembangkan cara pandang bahwa; pertama peserta didik adalah subyek penuh yang perlu dibantu mencari arah tanpa menutup rapat-rapat kemungkinan bagi peserta didik untuk membuat pilihan (karena kebebasan yang dimilikinya). Kedua, seorang pendidik bukan sekedar pengajar (penyampai materi pelajaran) namun sekaligus pendidik yang artinya membantu/menolong peserta didik menemukan arah hidupnya dengan menghormati kebebasan setiap pribadi. Dalam hal ini menolong peserta didik bukan berarti mengambil alih/mencarikan arah untuk selanjutnya peserta didik tinggal menjalani atau mengikuti. Ketiga, tindakan mendidik hanya terjadi pada manusia karena melibatkan seluruh kesadaran dan kebebasan individu pelaku sebagai subyek dan bukan hanya sebatas insting saja. Jadi proses pendidikan tidak dapat disamakan dengan aktivitas melatih binatang liar menjadi jinak dan sampai mampu melakukan/mengikuti semua perintah pelatihnya. Keempat, menilik pendapat Paulo Freire, seorang pendidik selayaknya menempatkan dirinya pada situasi subyek yang belajar sebelum memulai pembelajaran dengan harapan proses pendidikan akan lebih mengena dan sesuai, selain itu akan menghindarkan pendidik terjebak dalam mengajar dengan gaya ‘bank’. Pendidikan gaya bank mengandaikan murid menjadi ‘celengan’, guru pemberi informasi dan nasihat seolah-olah menabung informasi pada ‘celengan’ tersebut. Dalam kasus ini, guru menjadi sumber utama pencerita dan pengetahuan, sedangkan murid ‘nol’/ tidak tahu apa-apa.

Secara sederhana, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu peserta didik untuk mengembangkan diri dalam kesadaran dan kebebasan yang bertanggung jawab agar menjadi pribadi yang dewasa.

Penulis adalah seorang Pendidik di SMPN 15 Jogjakarta

06 Februari 2008

Masihkah Agama Memperoleh Tempatnya di Hati Remaja?


Masihkah Agama Memperoleh Tempatnya di Hati Remaja?1
M. Subkhi Ridho 2

Gaya Hidup Remaja saat ini berbeda jauh dengan generasi masa lalu. Televisi sebagai buah dari modernisasi, merupakan hasil teknologi informasi yang bisa membuat anak atau bahkan orang dewasa kecanduan untuk melewatkannya begitu saja dengan menonton acara-acaranya. Dalam membahas perubahan gaya hidup ini menarik sekali bila kita meninjau proses pembelajaran mayarakat kita, berkaitan dengan pengaruh televisi terhadap gaya hidup dan proses pembentukan karakter.

Wajah Televisi Kita
Praktik kekerasan dan vandalisme sejak tahun 1996 hampir-hampir menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Kerusuhan demi kerusuhan saling menyusul seolah berlomba menampilkan kesangarannya. Situasi ini dengan jelas beralih ke layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah ‘belepotan darah’ setiap hari oleh tayangan tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran dengan paksa, pemerkosaan, praktik korupsi para pejabat di pusat maupun daerah, pembalakan hutan dan lain-lain.
Bercermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Sudah lama negeri ini digembar-gemborkan sebagai negeri dengan masyarakat yang religius. Akan tetapi sikap masyarkatnya jauh dari nilai agama itu sendiri. Atau jangan-jangan ada yang salah dalam kehidupan keagamaan kita, sehingga doktrin, ajaran agama yang diajarkan di masjid, gereja, vihara, pura, majlis taklim dan lainnya di mana kebaikan menjadi sentral utama seolah tidak berbekas.
Kehadiran sinema elektronika (sinteron) yang menghiasi televisi setiap hari barangkali telah ikut membentuk nilai “baru” bagi generasi muda saat ini. Tidak banyak senitron yang mampu memberikan nilai-nilai edukatif bagi para penontonnya. Di sinetron dengan mudah kita saksikan pelajar (SMP/SMA) yang lebih disibukkan persoalan hubungan lawan jenis dibandingkan usaha gigih untuk meraih prestasi akademis yang baik. Di senitron dewasa pun mudah sekali kita jumpai gambaran perselingkuhan suami-istri, perebutan warisan dari orang tua yang telah meninggal, kompetisi bisnis yang sangat tidak sehat atau diwarnai dengan kecurangan, hampir-hampir tidak ada sinetron yang memberikan tawaran lain kepada penonton.
Demikian halnya dengan kuis berhadiah, variety show, setali tiga uang dengan sinetron. Dengan vulgar kita melihat “usaha” penanaman pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini dalam beragam acara televisi, tentu saja ada acara yang baik. Hal ini diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Nah, apakah gaya hidup seperti di atas didorong oleh kehadiran televisi saja? Saya kira terlalu gegabah kalau kita lagi-lagi menyalahkan sebuah kotak hitam yang disebut televisi itu. Memang kesibukan yang berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Menonton televisi bisa saja menumpulkan jiwa sosial kita jika tidak diselingi dengan menyapa dan bergaul dengan tetangga atau komunitas di luar sana.
Di mata dunia, sebenarnya bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan.

Gaya Hidup Modern
Namun, merebaknya “doktrin” konsumtivisme, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modern, menurut Hembing Wijayakusuma telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Ini bisa dilihat misalnya, orang kita saat ini lebih suka makan mie yang ongkosnya jauh lebih mahal sebetulnya. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk menggolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.

Menampilkan Pendidikan Karakter
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimanapun harus memiliki kemauan baik untuk mengondisikan segala bentuk penyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan barbar. Yang kita perlukan sekarang adalah bagaimana menumbuhsuburkan nilai-nilai empati itu dari generasi ke generasi dalam dunia pendidikan (agama) kita atau dengan kata lain menanamkan karakter pada setiap peserta didik. Secara naluriah, manusia membutuhkan pengakuan dan pengertian. Kedua kata inilah yang selama ini, disadari atau tidak, telah hilang dalam kamus kehidupan kita. Empati sangat membutuhkan kehadiran dua kosakata indah ini. Merebaknya berbagai praktik kekerasan dan vandalisme pun sebenarnya disebabkan oleh runtuhnya pilar pengakuan dan pengertian tadi. Kita makin tidak intens dalam mengakui keberadaan orang lain dan makin tidak apresiatif untuk mengerti keberadaan orang lain.
Proses penanaman dan pengakaran nilai-nilai empati itu, menurut hemat saya, perlu dibumikan lewat dunia pendidikan. Di balik tembok sekolah itu jutaan anak bangsa yang kini tengah gencar memburu ilmu perlu diperkenalkan secara intensif tentang makna pengakuan dan pengertian –sebagai pilar sikap empati– dalam kegiatan pembelajaran. Supaya tidak menimbulkan kejenuhan, perlu strategi penanaman dan pengakaran nilai empati yang tepat dan variatif sehingga tidak terjebak pada indoktrinasi seperti orang berkhotbah di atas mimbar.
Tentu saja, penanaman dan pengakaran nilai empati itu perlu ditindaklanjuti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga sesama anak bangsa bisa hidup nyaman dan damai di tengah-tengah lingkungan masyarakat multikultur. Sebuah masyarakat yang mampu menghargai dan mau mengakui akan keberadaan yang lain disekitarnya, dan bisa hidup bersama tanpa ada rasa curiga dan prasangka. Dalam pendidikan agama pun semestinya tidak hanya mengajarkan agama yang berupa doktrin-doktrin saja, akan tetapi mengakomodir pelbagai hal dalam kehidupan ini yang dinamis. Sehingga pendidikan agama tidak melulu mengajarkan sesuatu yang berulang yang bisa membosankan dan bahkan ditinggalkan oleh peserta didik. Di era teknologi informasi ini sebetulnya agama memperoleh tempatnya lagi setelah manusia berada dalam ‘dunia rasionalisme’ Rene Descartas yang semata-mata bertumpu pada rasio saja.
Jaman berubah. Pola pengajaran pun harus berubah. Jika agama tidak mampu menangkap semangat perubahan ini maka bukan hal yang mustahil kedepan agama akan kehilangan semangat pembebasannya dan akan tergantikan oleh spiritualitas yang saat ini marak di dunia Barat dan bahkan di sekeliling kita. Spiritualitas ini perlu dihadirkan oleh pendidikan agama, sehingga tidak terpisah dari agama.

1    Disampaikan sebagai prawacana diskusi “Forum Komunikasi Guru-Guru Agama SLTP/TA di DIY” dengan tema “Gaya Hidup Remaja Tantangan Pendidikan Agama”, di SMAN 2Bantul, 5 Desember 2007.

2   M. Subkhi Ridho adalah Presidium Jaringan Islam Kampus (JARIK) Yogyakarta dan mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.