06 Februari 2008

Masihkah Agama Memperoleh Tempatnya di Hati Remaja?


Masihkah Agama Memperoleh Tempatnya di Hati Remaja?1
M. Subkhi Ridho 2

Gaya Hidup Remaja saat ini berbeda jauh dengan generasi masa lalu. Televisi sebagai buah dari modernisasi, merupakan hasil teknologi informasi yang bisa membuat anak atau bahkan orang dewasa kecanduan untuk melewatkannya begitu saja dengan menonton acara-acaranya. Dalam membahas perubahan gaya hidup ini menarik sekali bila kita meninjau proses pembelajaran mayarakat kita, berkaitan dengan pengaruh televisi terhadap gaya hidup dan proses pembentukan karakter.

Wajah Televisi Kita
Praktik kekerasan dan vandalisme sejak tahun 1996 hampir-hampir menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Kerusuhan demi kerusuhan saling menyusul seolah berlomba menampilkan kesangarannya. Situasi ini dengan jelas beralih ke layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah ‘belepotan darah’ setiap hari oleh tayangan tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran dengan paksa, pemerkosaan, praktik korupsi para pejabat di pusat maupun daerah, pembalakan hutan dan lain-lain.
Bercermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Sudah lama negeri ini digembar-gemborkan sebagai negeri dengan masyarakat yang religius. Akan tetapi sikap masyarkatnya jauh dari nilai agama itu sendiri. Atau jangan-jangan ada yang salah dalam kehidupan keagamaan kita, sehingga doktrin, ajaran agama yang diajarkan di masjid, gereja, vihara, pura, majlis taklim dan lainnya di mana kebaikan menjadi sentral utama seolah tidak berbekas.
Kehadiran sinema elektronika (sinteron) yang menghiasi televisi setiap hari barangkali telah ikut membentuk nilai “baru” bagi generasi muda saat ini. Tidak banyak senitron yang mampu memberikan nilai-nilai edukatif bagi para penontonnya. Di sinetron dengan mudah kita saksikan pelajar (SMP/SMA) yang lebih disibukkan persoalan hubungan lawan jenis dibandingkan usaha gigih untuk meraih prestasi akademis yang baik. Di senitron dewasa pun mudah sekali kita jumpai gambaran perselingkuhan suami-istri, perebutan warisan dari orang tua yang telah meninggal, kompetisi bisnis yang sangat tidak sehat atau diwarnai dengan kecurangan, hampir-hampir tidak ada sinetron yang memberikan tawaran lain kepada penonton.
Demikian halnya dengan kuis berhadiah, variety show, setali tiga uang dengan sinetron. Dengan vulgar kita melihat “usaha” penanaman pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini dalam beragam acara televisi, tentu saja ada acara yang baik. Hal ini diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Nah, apakah gaya hidup seperti di atas didorong oleh kehadiran televisi saja? Saya kira terlalu gegabah kalau kita lagi-lagi menyalahkan sebuah kotak hitam yang disebut televisi itu. Memang kesibukan yang berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Menonton televisi bisa saja menumpulkan jiwa sosial kita jika tidak diselingi dengan menyapa dan bergaul dengan tetangga atau komunitas di luar sana.
Di mata dunia, sebenarnya bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan.

Gaya Hidup Modern
Namun, merebaknya “doktrin” konsumtivisme, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modern, menurut Hembing Wijayakusuma telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Ini bisa dilihat misalnya, orang kita saat ini lebih suka makan mie yang ongkosnya jauh lebih mahal sebetulnya. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk menggolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.

Menampilkan Pendidikan Karakter
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimanapun harus memiliki kemauan baik untuk mengondisikan segala bentuk penyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan barbar. Yang kita perlukan sekarang adalah bagaimana menumbuhsuburkan nilai-nilai empati itu dari generasi ke generasi dalam dunia pendidikan (agama) kita atau dengan kata lain menanamkan karakter pada setiap peserta didik. Secara naluriah, manusia membutuhkan pengakuan dan pengertian. Kedua kata inilah yang selama ini, disadari atau tidak, telah hilang dalam kamus kehidupan kita. Empati sangat membutuhkan kehadiran dua kosakata indah ini. Merebaknya berbagai praktik kekerasan dan vandalisme pun sebenarnya disebabkan oleh runtuhnya pilar pengakuan dan pengertian tadi. Kita makin tidak intens dalam mengakui keberadaan orang lain dan makin tidak apresiatif untuk mengerti keberadaan orang lain.
Proses penanaman dan pengakaran nilai-nilai empati itu, menurut hemat saya, perlu dibumikan lewat dunia pendidikan. Di balik tembok sekolah itu jutaan anak bangsa yang kini tengah gencar memburu ilmu perlu diperkenalkan secara intensif tentang makna pengakuan dan pengertian –sebagai pilar sikap empati– dalam kegiatan pembelajaran. Supaya tidak menimbulkan kejenuhan, perlu strategi penanaman dan pengakaran nilai empati yang tepat dan variatif sehingga tidak terjebak pada indoktrinasi seperti orang berkhotbah di atas mimbar.
Tentu saja, penanaman dan pengakaran nilai empati itu perlu ditindaklanjuti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga sesama anak bangsa bisa hidup nyaman dan damai di tengah-tengah lingkungan masyarakat multikultur. Sebuah masyarakat yang mampu menghargai dan mau mengakui akan keberadaan yang lain disekitarnya, dan bisa hidup bersama tanpa ada rasa curiga dan prasangka. Dalam pendidikan agama pun semestinya tidak hanya mengajarkan agama yang berupa doktrin-doktrin saja, akan tetapi mengakomodir pelbagai hal dalam kehidupan ini yang dinamis. Sehingga pendidikan agama tidak melulu mengajarkan sesuatu yang berulang yang bisa membosankan dan bahkan ditinggalkan oleh peserta didik. Di era teknologi informasi ini sebetulnya agama memperoleh tempatnya lagi setelah manusia berada dalam ‘dunia rasionalisme’ Rene Descartas yang semata-mata bertumpu pada rasio saja.
Jaman berubah. Pola pengajaran pun harus berubah. Jika agama tidak mampu menangkap semangat perubahan ini maka bukan hal yang mustahil kedepan agama akan kehilangan semangat pembebasannya dan akan tergantikan oleh spiritualitas yang saat ini marak di dunia Barat dan bahkan di sekeliling kita. Spiritualitas ini perlu dihadirkan oleh pendidikan agama, sehingga tidak terpisah dari agama.

1    Disampaikan sebagai prawacana diskusi “Forum Komunikasi Guru-Guru Agama SLTP/TA di DIY” dengan tema “Gaya Hidup Remaja Tantangan Pendidikan Agama”, di SMAN 2Bantul, 5 Desember 2007.

2   M. Subkhi Ridho adalah Presidium Jaringan Islam Kampus (JARIK) Yogyakarta dan mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.