29 November 2007

TANTANGAN ZAMAN, KAUM MUDA DAN PENDIDIKAN AGAMA



Catatan lepas Pertemuan Forum Komunikasi Guru-Guru Agama - Bulan Oktober & Nopember 2007

Oleh:
purwono nugroho adhi
praktisi kerja budaya
katekis@yahoo.com

Tantangan yang menghadang
Modernitas zaman yang bergerak dengan langkah angkuh telah meninggalkan jejaknya yang membekas pada kegalauan dan disorientasi. Ketika ruang-ruang makna mulai bergeser pada wacana dan kesadaran yang bersifat praktis, dangkal dan ambivalen, mulailah orang bingung. Tampak wajah muda mulai cemas dihimpit kegalauan, ketika tiada lagi apa yang diacu. Dirinya hanya mampu bersandar pada wajah-wajah entertaining yang hanya menyediakan seklumit kata-kata kesenangan. Ketika pulang pun, mereka hanya bertemu dengan jalan-jalan yang dihiasi toko kelontong besar dan pancaran temaram lampu rave party. Seklumit kecemasan itu telah menusuk kedalam kalbu seorang ibu yang kesehariannya mengajar agama di SMA PIRI, dan tentu saja pada beberapa orang lainnya.
Pertanyaan kecil terkata dari bibirnya, "bagaimana sumbangan pendidikan agama menghadapi kecemasan ini,". Tentu saja, pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Ya, memang banyak cara yang perlu dikembangkan, salah satunya, bagaimana mengenalkan pengalaman hidup di seputar kaum muda untuk mengajak mereka memahami makna yang lebih mendalam. Tantangan zaman ini begitu besar, tidak sepantasnya pendidikan agama yang berorientasi pada nilai moralitas dan imani hanya memberikan dalil-dalil jawaban seperti layaknya ilmu eksakta. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajak kaum muda menemukan secara mandiri hidup mereka dengan persoalan yang tengah dihadapi, dengan pengalaman hidupnya dengan nilai-nilai agama.
Tantangan zaman telah merajut kekuatannya dengan segala media yang ada, dari cyber, televisi dan berbagai rajutan pola yang membentuk cara pandang orang muda. Tentu saja, hal ini juga menjadi tantangan bagi beberapa guru agama yang ada dipinggiran kota, seperti Bantul. Banyak cara yang dicoba diupayakan, tidak hanya di kota besar saja, karena rajutan media yang begitu menggurita telah membentuk cara baru dalam memandang. Memang, modernitas zaman jangan hanya dilihat sebagai yang negatif saja, karena zaman kaum muda tentu saja berbeda juga dengan zamannya para buyut mereka, ya atau para guru agama mereka. Maka, pengaruh modernitas perlulah dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman yang tidak dapat diatasi atau dimanfaatkan.
Tantangan modernitas apakah perlu diselami oleh guru agama zaman sekarang, hingga mereka harus melebur untuk mampu menyapa kaum muda. Itulah secarik pertanyaan yang dilematis. Tentu saja, bukan ngintir tetapi harus mampu "berenang" dalam riakan gelombang itu, hingga dengan jenaka, ada yang nyentil, " wah, guru agama apakah juga ikut mendem dulu agar mampu menyapa kaum muda?". Ya, tentu saja, yang paling penting guru agama harus mampu menyapa secara mendalam setiap pribadi yang unik sifatnya, dan banyak hal alternatif dan kreatifitas yang dapat dibuat.

Merangkai rajutan Pendidikan Agama yang progresif
Kaum muda merupakan "subyek" kajian yang begitu menarik. Menariknya, karena kaum muda mempunyai dunia yang khas, sarat dengan berbagai dinamika dan ruang kreatifitas yang beragam dan kompleks. Mareka bergerak dengan warna yang cerah, jiwa serta imaginasi yang begitu bebas dan sarat akan perubahan.
Mereka lahir dari dunia yang selalu membaca dengan mata pareto, apapun mereka baca dengan kata "lawan" , "cari yang lain daripada yang lain", "pilihlah warna yang kontras", dan lain sebagainya, yang penting "lain". Mata mereka yang pareto membuat mereka "tidak akan pernah jenak" dengan rutinitas dan konservatisme. Hal itulah yang membawa mereka bergerak menekan tombol religious doubt di kepala mereka, yaitu demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional menjadi ikon mereka.
Untuk itu, seorang guru agama dari SMA BOPKRI I mencoba mengayunkan langkahnya untuk membuat suatu yang berbeda mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman, seperti apa yang dilakukan di SMA PIRI, dicoba diterapkannya dengan gagasan yang kreatif, hingga seringnya ia dicap "ateis", karena dinilai "kebablasan" dalam mengemas pendidikan agama. Namun, gayung progresifitas pasti bersambut, ketika disadari, bahwa guru harus merdeka dari tekanan dan penjara sistem pendidikan yang konvensional agar selalu dapat memperkembangkan visinya.
Pendidikan agama hendaknya dimulai dari apa yang selalu menjadi pertanyaan eksistensial hidup. Kaum muda perlu disapa dari apa yang paling ultim dari dirinya, pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dari hidup mereka yang berwarna-warni itu. Untuk itu, seorang pastur Jesuit dari Sanata Dharma, mencoba membagikan sebuah pendekatan yang bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan agama, yaitu pendekatan psikologis pendampingan pengembangan diri.
Pendidikan agama yang mampu menyapa hati kaum muda secara mendasar itulah yang diusahakan. Harapannya, segala pertanyaan soal hidup yang selalu menjadi muara dalil-dalil agama tidak hanya dibingkai secara formalistik, tetapi sungguh dimulai dari kerinduan yang paling ultim dari setiap individu. Sehingga diharapkan pendidikan agama perlu mencari pendekatan-pendekatan yang progresif dan kreatif agar menjadi salah satu ruang bagi kaum muda memandang, melihat merefleksikan dan bertindak atas hidup mereka.
Sehingga pertanyaan dari seorang aktivis Dian Interfidei, sebarapa jauh kaum muda mampu secara konsisten, dewasa dan utuh mempunyai nilai-nilai yang diacu untuk hidupnya yang penuh tantangan oleh disorioentasi nilai di zaman sekarang ini dapat mereka temukan dari sebuah jalan kecil pendidikan agama, sebuah jalan kecil bermula dari kegelisahan forum guru-guru agama di Yogyakarta ini. Tentu, forum ini perlu terus belajar untuk merajut pemikiran-pemikiran progresif bagi secarik catatan kecil dari sebuah peta besar pendidikan di Indonesia, secara khusus pendidikan agama.
Bravo, guru-guru agama, ditanganmulah,
ada langkah kecil untuk mengenalkan langit di kaki dunia yang galau ini
bagi insan muda yang memegang tongkat estafet
masa depan Indonesia


02 November 2007

SEKILAS SEJARAH PERKEMBANGAN CHOICE


Oleh: Romo HJ Suhardiyanto, SJ

Kaum muda sering dikatakan sebagai tulang punggung dari suatu bangsa. Kepadanya sering dituntut untuk bertanggung jawab atas suatu keadaan. Kita sadari bahwa kemajuan suatu bangsa akan bergantung pada perkembangan kaum mudanya. Karena oleh diri merekalah keadaan nanti akan diubah. Pada dirinyalah keadaan akan bergantung. Namun demikian banyak problema yang ternyata harus dihadapi oleh kaum muda.

Kaum muda sedang dalam perkembangan fisik, mental, emosional, moral dan religius. Perkembangan yang dimaksud di sini adalah perkembangan fisik, perkembangan kesadaran psikologis dan perkembangan kesadaran religius. Perkembangan fisik jelas nampak pada diri kaum muda di usia sekolah menengah, di mana fisik mereka sedang tumbuh-tumbuhnya menuju ke kondisi fisik dewasa. Pertumbuhan ini membuat kaum muda yang laki-laki akan semakin
menampakkan diri sebagai pria dan kaum muda yang perempuan akan semakin tampil sebagai wanita. Dalam hal ini fisik wanita lebih cepat mencapai kedewasaannya daripada fisik pria. Akibat dari perubahan ini, tidak jarang timbul keresahan atau kecemasan dalam diri mereka. Keadaan fisik mereka semakin dewasa, dimana mereka siap secara fisik untuk berhubungan secara sexual, namun dari segi mental dan psikologis mereka belum siap. Mereka belum siap untuk memasuki pergaulan dengan lawan jenis dalam rangka hidup perkawinan dengan segala konsekuensinya termasuk di dalamnya mempunyai, memelihara dan mendidik anak yang menjadi buah perkawinan tsb. Perkembangan mental, kaum muda menampakkan gejala-gejala perubahan kemampuan intelektual, menjadi lebih kritis. Perkembangan emosional kaum muda tampak pada semangat mereka yang meletup-letup, perpindahan gejolak hati yang cepat, munculnya sikap-sikap masa bodoh, keras kepala dan tingkah laku yang tidak jarang memberi kesan hingar bingar. Hal ini membuat mereka lama-kelamaan dapat juga menangkap emosi orang lain dan memahami berbagai kata yang berhubungan dengan perasaan-perasaan positif, seperti : bahagia, puas, berani, cinta, optimis, percaya diri, terharu dll. Demikian pula dengan perasaan-perasaan negatif, seperti : sedih, marah, pesimis, kecewa , frustrasi dan lainnya.
Perkembangan religius menyangkut hubungan dengan "Yang Mutlak" (sebutan untuk - Nya). Kaum muda mulai bertanya tentang makna segala sesuatu. Maka akan timbul pertanyaan : "Adakah hidup ini berarti ?" Setelah melalui proses pencarian jawabannya, kaum muda menemukan suatu penggambaran mengenai "Yang Mutlak", yakni suatu penggambaran Allah sebagai Pribadi yang ideal, sempurna dan sekaligus sanggup menolong mereka dalam menghadapi masalah dan kesulitan dalam upaya mewujudkan cita-cita mereka. Seperti halnya manusia pada umumnya, kaum muda juga mempunyai keinginan untuk selalu berhasil dalam hidupnya. Keinginan untuk dihargai, dihormati dan disenangi. Kaum muda ingin dianggap dewasa, ingin diterima dan dicintai. Semua ini menjadi kerinduan pokok kaum muda dalam proses penemuan jati dirinya. Kerinduan pokok itu menjadi kebutuhan dasar dari segi perasaan, sama halnya dengan kebutuhan akan makanan, minuman, tidur yang merupakan kebutuhan pokok dari segi fisik. Namun demikian dalam kenyataannya, kerinduan - kerinduan tersebut tidak semua dan selamanya bisa terwujud.

Dalam proses penemuan jati diri dan pemenuhan kerinduan pokoknya, kaum muda pada umumnya menghadapi beberapa problem. Problem-problem tersebut pada umumnya problem yang berhubungan, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dengan kegagalan hidup, dengan perasaan kurang dihargai, perasaan kurang diterima ke-aku-an dan keberadaanya. Bila pengalaman-pengalaman yang negatip ini menumpuk akhirnya akan timbul sikap masa bodoh dalam diri mereka, karena mereka merasa tidak "dimiliki oleh .." oleh orang lain dan dengan demikian juga tidak punya rasa memiliki.. atas yang ada disekitarnya, termasuk orang tua dan orang-orang lainnya. Selanjutnya akan mudah pula timbul dalam diri mereka sikap yang cenderung melakukan hal-hal yang tak terpuji dan tak terarah.

Pastor Tom Morrow, seorang Pastor Paroki di Amerika Serikat dan juga salah seorang anggota Tim ME merasakan dan menemukan keadaan yang memprihatinkan ini dari sharing-sharing para pasutri yang didampinginya.

Maka mulailah Pastor ini mendekati mereka dan mulailah diadakan pertemuan-pertemuan yang membahas dunia kaum muda. Pendekatan terhadap kaum muda dikembangkan melalui kemurahan hati dan cinta sejati para keluarga yang pernah mengikuti Week End ME. Ini merupakan usaha untuk berbagi Rakhmat, berkat, penemuan-penemuan dan kesadaran bahwa
Allah Bapa kita telah mengarahkan kita untuk mengalami-Nya, sebagai Bapa yang baik dan penuh cinta. Hari dimana akan ada kontak dan interaksi di antara seluruh anggota Gereja perlu diusahakan dan direncanakan secara sistematis.

Pastor Tom Morrow berusaha mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan kaum muda. Dari beberapa kali pertemuan yang diadakan, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya kaum muda mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dalam arti komunikasi yang cukup mendalam dengan teman sebayanya, terlebih dengan orang tua dan saudaranya.

Dari diskusi-diskusi yang diadakan itu Pastor Tom Morrow sadar bahwa kaum muda membutuhkan keterlibatan dengan orang lain dan mengungkapkan adanya suatu keinginan yang kuat atas rasa kebersamaan. Mereka membutuhkan "a strong sence of belonging".
Untuk inilah Pastor Tom Morrow ingin melibatkan kaum muda sebagai individu yang aktif, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarganya, kelompoknya, paroki, Gereja serta masyarakatnya.

Usaha Pastor Tom Morrow ini mendapat dukungan dari Pastor Chuck Gallagher, seorang imam yang tidak asing lagi dalam kalangan ME bersama beberapa pasangan suami-istri lainnya. Kerja keras mereka inilah yang akhirnya melahirkan suatu Program Week End yang disebut "Week End Choice" (WEC). Setiap orang memiliki kemampuan untuk membantu meningkatkan dan menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam relasi personal, hubungan yang sungguh-sungguh bersifat pribadi. Dari semua itu harapan dan impian yang ada adalah, bahwa 'semuanya akan bisa menjadi satu' keluarga seiman, sesama anggota Gereja.
Choice merupakan sarana, alat bagi kaum muda agar mereka dapat mengembangkan dirinya untuk bisa berbuat sesuatu yang berarti / positip dalam hidupnya. Choice merupakan usaha menjawab masalah kaum muda yang menanyakan kembali dasar-dasar atau sendi-sendi kekeluargaan dan persaudaraan tradisional dalam masyarakat atau Gereja yang digoyahkan oleh pergeseran nilai dan praktek hidup yang individualistis dan sekularistis sebagai dampak
dari macam-macam perkembangan dunia dewasa ini. Choice akan membantu kaum muda untuk mampu membuat keputusan berbuat sesuatu yang benilai dalam hidupnya. Choice bermaksud membantu kaum muda dalam menciptakan kondisi, dimana mereka bisa merasa menjadi bagian dari ....., merasa ikut memiliki ....serta dimiliki oleh............

Dengan demikian diharapkan perasaan yang tadinya hambar, acuh tak acuh, tidak merasakan adanya perhatian dari fihak lain, tidak mau melibatkan diri, merasakan hubungan pribadi mereka dengan orang lain terasa dingin dan dangkal ( sekedar hubungan kerja, hubungan bisnis atau hubungan organisasi), akan dapat menjadi lebih hangat berkat adanya Choice, sehingga komunikasi pribadi mereka dapat timbal balik terjadi dan dengan adanya kemesraan, pembicaraan yang menyentuh masalah pribadi dapat pula terjadi sehingga relasi yang pernah ada akan dapat menghangat kembali.

Choice mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok, yakni :
  1. Membantu para muda - mudi menghayati pentingnya 'belonging' (menjadi bagian hidup orang lain) dalam relasi-relasi mereka. Choice mengajak sekaligus menantang kaum muda dengan pertanyaan dasar, "Apakah anda mau menjadi bagian hidup orang lain?". Choice membantu mereka menyadari pentingnya relasi yang baik dengan orang tua, saudara dan teman-teman. Keputusan untuk memperdalam dan/atau memulihkan relasi yang akrab adalah inti tujuan Choice; Kata 'Choice' sendiri berarti keputusan atau pilihan.
  2. Menciptakan suasana dan iklim pendukung agar para Choicer dapat saling percaya dan dapat berkomunikasi secara mendalam dengan teman seusia dan dengan orang Katolik yang lebih tua. Choice mau meningkatkan mutu komuniasi dan kepercayaan antara muda-mudi, karena pengalaman semacam inilah yang dapat membantu mereka untuk memperbaiki kepercayaan serta komunikasi dengan orang tua, saudara dan teman-teman mereka.
  3. Menyemangati para peserta untuk menyadari tugas agama dan peranan mereka dalam tugas missioner agama itu, sehingga akhirnya mereka menjadi warga agama yang lebih giat dan terlibat, baik dalam lingkup agama ataupun masyarakat kampungnya, maka Choice berusaha membuka dan mengembalikan (mengingatkan) ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan mereka.

Untuk menjadi bagian hidup dari orang lain bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan syarat-syarat dan kesediaan untuk menerima/menanggung konsekwensi untuk betul - betul menjadi bagian hidup orang lain. Kaum muda mau diajak menyadari dan menemukan tempatnya dalam kelompok : keluarga, kampus/sekolah, jemaat beriman ataupun masyarakat kampungnya. Selain itu kaum muda akan diajak untuk menyadari diri sebagai bagian dari Umat Allah, dengan ikut ambil bagian dalam tugas dan misi agama (menghadirkan Kerajaan Allah dan mau melibatkan diri dalam karya-karya keagamaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, setelah semua session dilalui oleh para Choicer, diadakanlah Upacara Pengutusan.

Karena mereka adalah orang Kristen/ Nasrani, maka mereka diutus untuk ikut terlibat dalam karya Gereja. Program WEC yang diciptakan oleh Pastor Tom Morrow beserta anggota Tim ME lainnya, tidak begitu saja dapat dengan mudah menggelinding. Program ini telah berkali-kali desempurnakan setelah beberapa kali pelaksanaan yang dievaluasi dan dianalisa. Program yang pada awalnya diciptakan untuk menjawab masalah yang dilihat oleh Pastor Tom Morrow , yaitu banyaknya tindakan - tindakan kaum muda di Amerika yang cenderung kurang terarah, kini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri mengenal Choice pada bulan Februari 1982 di mana pada waktu itu Pastor Ismartono, SJ, Pastor Susilo, MSC. dan Pasutri Ivo-Lia diutus oleh pengurus ME (Mariage Encounter) Indonesia ke Singapura untuk mengikuti Week End di sana. Peserta dari Jakarta inilah yang akhirnya mengadakan Week End Choice pertama pada bulan Desember 1982, setelah sebelumnya mereka bekerja keras untuk menerjemahkan lembaran-lembaran peserta yang dibagikan ke pada para peserta, mengurus pendaftaran, mencari dana, serta mencari tempat pelaksanaan Week End dan sebagainya. Dari Jakarta, Choice menyebar ke kota-kota di Indonesia lainnya, seperti Padang, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Solo dan Magelang.
Yogyakarta menyelenggarakan Week End Choice pertamanya pada bulan Maret 1985, dengan Tim Romo Paul, OMI., Sr. Theresia, JMJ, Pasutri Ernest-Sri, Priyo dan Ika di Sangkal Putung. Peserta pertama inilah yang akhirnya mau dan akhirnya membagi-bagikan nilai-nilai yang mereka rasakan dan peroleh sehingga akhirnya mereka membentuk Tim Choice Yogyakarta.

Choice bukanlah organisasi, melainkan suatu gerakan. Sedangkan Tim Choice adalah wadah dari sejumlah kecil choicer yang berhimpun dan dihimpun untuk selanjutnya membagikan yang mereka dapatkan dalam Week End untuk diberikan kembali dengan menyelenggarakan Week End Choice bagi kaum muda lain. Tim ini memiliki struktur organisasi dan dijalankan dengan prinsip-prinsip organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan atau pendampingan kepada peserta WEC dan follow-upnya. Meskipun Choice bukan suatu organisasi, tetapi mempunyai lambang yakni sebentuk jantung hati dan salib. Jantung hati melambangkan pribadi kita masing-masing dengan segala kemampuan untuk mencinta dan dicintai. Kata Choice di dalam jantung hati mau membangkitkan kemampuan memilih untuk menjadi bagian hidup (belonging) dan terlibat dalam hidup orang lain. Salib melambangkan Yesus Kristus, mau mengingatkan akan pola hidup-Nya yang rela berkurban demi cinta kepada umat manusia, yang seharusnya menjadi pola pengikutnya pula dalam bertindak.

Sedangkan mottonya :
Mengenal, mencintai dan mengabdimu
( sesama dan Allah )
terindah dalam hidupku.

05 Oktober 2007

Agama yang Rahmatan Lil Alamin Melalui Pendidikan agama yang membebaskan



Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru Agama SMA PIRI 1 Yogyakarta

Suatu ketika salah seorang siswa menyatakan kepada saya:
” Bu Tuhan-nya orang Kristen itu kok kayaknya lebih ramah, lebih bersahabat dan lebih wellcome ya Bu. Kenapa ya?. Kalo Gusti Alloh kita tuh kayaknya jauuuh banget, galak dan suka ngancem-ngancem ”

Saya diam sejenak karena terus terang saya belum siap menerima pertanyaan itu. Sayapun balik bertanya: Benarkah? Dari mana kamu bisa menyimpulkan itu?. Dia menjawab:” Saya diam diam kan sering juga memperhatikan ceramah rohani agama nasrani dan juga agama lain, kayaknya ga pernah ada ancaman; Tapi para da’i selain Aa’ Gym kayaknya serem deh.” Saya kejar terus dengan pertanyaan: apakah hal yang sama juga dirasakan juga oleh siswa lain. Sebagian mereka setuju dan sebagian besar menjawab tidak tahu.

Setelah saya mencoba melihat dan mrenungkannya, saya seolah tersadar tentang apa yang telah saya lakukan selama ini, berkaitan dengan fungsi dan peran saya sebagai guru agama. Jangan jangan ketika saya memperkenalkan Tuhan pada mereka juga tidak jauh berbeda? Kemudian saya jadi ingat waktu kecil saya ketika guru ngaji saya menggambarkan shirothol Mustaqiim (jalan yang lurus); melalui cerita tentang titian rambut dibelah tujuh yang harus dilalui oleh semua orang menuju sorga. Dibawah jembatan itu terdapat api yang menyala nyala yang siap memanggang siapa saja yang gagal melewatinya. Itulah neraka Jahannam. Cerita tersebut ternyata sangat populer dan diceritakan secara turun temurun, terutama oleh para guru TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) kepada para santri kecilnya. Tak terkecuali anak saya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar murid saya. Mereka menerimanya dari para guru ngajinya juga.

Saya juga ingat ketika guru ngaji saya menasehati salah seorang teman saya yang kedapatan mengumpat atau berbohong. Beliau berkata: ” Hus! itu dosa tahu nggak? Nanti di akhirat sana lidah kamu bakal menjulur, kemudian dipotong. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi dan seterusnya”. Hal yang lebih mengerikan juga saya ingat ketika guru saya menggambarkan tentang hari kiamat dan berbagai siksa neraka seperti punggung diseterika dan tubuh yang hangus terbakar.

Pernah suatu ketika, Tyas anak bungsu saya yang baru duduk di kelas 4 SD protes. Katanya:” Tuhan tidak adil! Lebih enakan jadi laki laki daripada perempuan. Jadi perempuan sangat banyak beban tugasnya dan repot. Sudah harus hamil, melahirkan, menyusui, ngurusi rumah tangga. Repot karena harus pakai pakaian rangkap(jilbab). Sedangkan laki laki kan enggak. Cuma cari uang saja. Cepat cepat saya menyahut:” Lho Bapak kan juga bantu ibu mencuci setiap harinya?.” Tapi tetap saja dia merasa tidak adil.

Kira kira seminggu kemudian barulah saya mengerti mengapa dia bersikap demikian setelah dia bertanya tentang laki laki bukan muhrim . Setelah saya telusuri pelan pelan dia mulai bercerita tentang kajian fiqhun-Nisa’ (kajian kewaniaan) yang diselenggarakan oleh sekolah. Dia bercerita banyak tentang bagaimana bu gurunya menjelaskan tentang ”keharusan- keharusan” yang harus dipatuhi oleh wanita muslimah serta larangan larangan yang harus dihindarinya. Saya jadi bisa ikut merasakan, betapa yang namanya agama begitu berat dirasakan oleh seorang anak yang baru berusia 10 tahun seperti Tyas.

Saya baru menyadari tentang peran pentingnya metode yang sering jauh lebih menentukan dari pada pesan/materi yang ingin disampaikan. Barangkali ini yang terjadi di sekolah sekolah, seperti contoh di atas. Pendekatan normatif yang digunakan membuat agama begitu berat membebani dan membelenggu kebebasan mereka.

Saya benar benar memutar otak; bagaimana menjelaskan pada tyas tentang keadilan Tuhan. Tidak sengaja saya melihat sebuah judul buku di terpampang di etalase toko buku yang berjudul Bangga Menjadi Wanita. Dengan versi dan bahasa yang sederhana saya mencoba menjelaskan bahwa saya begitu bangga dan bersyukur menjadi perempuan; menjadi ibu.Diapun bertanya, Mengapa? Saya jawab:
” Coba perhatikan di sekitar kita. Ada disebut ibu jari (tapi tidak ada bapak jari), ibu pertiwi (tapi tidak ada bapak pertiwi), ada ibu kota (tapi tidak ada bapak kota). Apa itu artinya? Tyaspun tertawa terkekeh. Kemudian saya lanjutkan dengan melihat realitas disekelilingnya: Bapak bekerja, ibu juga bisa bekerja; Bapak menyopir, ibu juga bisa; Tapi... jika ibu bisa hamil, melahirkan dan menyusui, sebaliknya bapak ga bisa melakukannya. Apa menjadi ibu itu bukan sesuatu yang hebat dan membanggakan?

Kesan ketidakramahan Tuhan-nya orang Islam ternyata didukung dengan munculnya tayangan televisi yang menyebut programnya ”sinetron religi”. Atau serial simetron Hidayah. Tapi yang muncul justru berbagai ”aksi” Tuhan menebar siksaNya kepada setiap hambaNya yang berbuat dosa seolah tanpa ampun. Lihat saja dari judulnya saja yang mengerikan, seperti: Istri selingkuh, mati bau anyir; Menantu Durhaka, mati mengenaskan, Makan harta anak yatim mati dimakan belatung, dsb.

Di dalam ayat ayat Al-Qur’an memang ada beberapa ayat yang mengandung ancaman, tetapi ayat ayat tersebut sangat kecil dibandingkan dengan ayat ayat yang menggambarkan kasih sayang Tuhan, ke-Maha Pengampun-an Tuhan dengan berbagai pintu pertaubatan yang ditawarkan. Apalagi jika kita menyimak realitas keseharian akan dapat dilihat besarnya ke-Maha Makluman Tuhan. Para guru agamapun sampai hari ini masih banyak yang menggunakan pendekatan normatif (fiqih) dalam melihat masalah kehidupan. Siswa tidak boleh begini begitu, yang ini haram yang itu dosa. Serhingga ia lebih terlihat sebagai sosok hakim yang siap mengadili dari pada seorang pembimbing yang menjadi sahabat anak.

Cita rasa keberagamaan yang dimiliki seseorang memang tidak terlepas dari bagaimana sebuah agama (Tuhan) itu dikenalkan, dipersepsikan dan dibiasakan oleh lingkungan, para orang dewasa, tetutama para muballigh (para da’i, kyai, termasuk para guru agama). Untuk menggambarkan ini saya ibaratkan semangkok bakso; jika kita memakannya secara parsial, misalnya cabenya dulu, lalu cuka, sausnya, baru kemudian baksonya maka akan terasa aneh di lidah kita. Tapi jika kita meramunya dengan komposisi yang pas kemudian menikmatinya dengan cara yang tepat, maka akan terasa bakso yang mak nyuus, lezat dan menyehatkan.
Ini adalah pelajaran berharga sekaligus tantangan bagi guru agama agar dapat menghadirkan Tuhan dalam sajian pembelajaran di kelasnya secara lebih ramah, damai dan menyejukkan.

04 Oktober 2007

MENJADI SAHABAT MURID YANG RENDAH HATI, MAU BELAJAR DAN TERBUKA TERHADAP KRITIK

Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru SMA PIRI 1 Yogyakarta

Sebagai seorang guru tentu saja saya pernah merasakan saat menjadi murid. Berbagai pengalaman unik, mengharukan, membahagiakan sampai yang memalukan terekam kuat dalam ingatan sekaligus pelajaran berharga bagi saya. Akan tetapi sekaarang ini situasinya jauh berbeda dengan dulu waktu saya sekolah. Dulu keberadaan guru demikian dominan dan sentral. baik di masyarakat maupun di dalam kelas. Minimnya akses informasi karena keterbatasan tehnologi membuat guru merupakan sosok yang dianggap ”yang paling tahu”; oleh karenanya tempat banyak orang bertanya.
Sebutan ”Mas Guru” merupakan simbol penghormatan bagi guru. Di kelas guru merupakan sumber informasi utama bagi murid muridnya dan sekaligus berperan sebagai subyek belajar. Dengan posisinya itu guru menjadi sangat berkuasa dalam memainkan otoritasnya, termasuk dalam menjatuhkan sangsi hukuman bagi anak didiknya. Saya ingat betul sosok guru SD saya kelas 4 yang suka mencubit lengan atas siswanya yang melanggar. Karena demikian sakitnya sampai ”kucingen” (mengerang erang kaya kucing kesakitan) dan bekasnya 2 minggu tidak hilang. Anehnya tak ada orang tua yang protes. Para orang tua itu begitu percaya pada guru, sehingga apapun yang dilakukan guru dilihatnya sebagai cara ”mendidik” untuk bisa mengubah anaknya menjadi lebih baik. Ketika nenek saya tahu ada kira kira 3 buah bekas cubitan itu di lengan, beliau berkomentar: ” Lha kamu bandel sih, makanya jika tidak ingin dihukum lagi, besok besok jangan bandel !”
Hal di atas memang bisa difahami karena guru adalah sumber informasi, figur teladan yang mentransformasikan nilai nilai dalam kehidupan siswa mana yang pantas dan tidak pantas; mana yang baik dan buruk. Di era sekarang ini guru bukanlah satu satunya sumber informasi. Kemajuan tehnologi elektronika telah membawa masyarakat dari lingkungan lokal ke lingkungan global. Banjir informasipun melaju tak terbendung. Pergantian informasi tidak lagi per-hari, atau per-jam; tapi per-detik. Seiring dengan itu posisi dan peran guru mau tidak mau bergeser. Dia tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi, karena telah diganti oleh televisi, internat dan hand phone. Ia tak lagi sebagai figur sentral karena telah diganti oleh Madonna, Brad Pitt, Primus dan SpongBob. Berbagai produk budaya yang menampilkan gaya hidup dari berbagai bangsa mengalir tanpa batas.
Sayangnya perubahan dan pergeseran ini sering tidak diikuti dengan kesiapan mental, spiritual maupun intelektual. Ketidak siapan itu bukan saja dialami oleh anak anak dan remaja, tetapi juga oleh para orang tua, bahkan para guru. Pada suatu kesempatan saya pernah diprotes oleh salah seorang siswa ketika saya menyoroti tentang setelah menyaksikan ditangkapnya Roy Martin, pelawak Doyok, Polo, Deri, serta maraknya CD porno; hasil ulah dari para orang tua. Mereka mengatakan:” Bu, kenapa disurat kabar, spanduk, seminar sering temanya tentang kenakalan remaja?. Ternyata yang kelahi, narkoba dan pornoaksi para orang tua juga!”.
Kemajuan tehnologi komunikasi, disamping membantu meningkatkan produktifitas manusia modern, ternyata juga menjadi ancaman, beban sekaligus tantangan bagi sebagian guru dalam mengelola kelas. Terlebih lagi pada sekolah swasta seperti SMA PIRI I. Dari sisi kualitas inputnya, jelas jauh di bawah sekolah negeri. Padahal survey menunjukkan adanya hubungan paralel antara prestasi belajar dengan motivasi dan konsentrasi belajar siswa. Sepeda motor dan media elektronik seperti HP, MP, Notebook, sudah mulai menjadi kebutuhan ”penting” mereka. Sayangnya mereka lebih melihatnya dari nilai gengsinya (merek dan modelnya) dari pada nilai fungsinya. Berbagai fasilitas diatas berdampak pada berkurangya motivasi, konsentrasi dan perhatian mereka pada pelajaran sekolah. Hal tersebut terlihat pada kurang siapnya mereka untuk memasuki pelajaran setelah pergantian jam, saat istirahat maupun saat waktu jeda lainnya. Mereka terlihat asyik bahkan sampai jam pelajaran berjalan.Terlebih lagi untuk guru tertentu yang mereka pandang permisif. Berbagai fasilitas tersebut telah mulai memanjakan anak anak sehingga berdampak pada menurunnya fighting spirit mereka. Mereka mulai kurang berminat menjadi pengurus OSIS, PMR, KIR karena dianggapnya sebagai kegiatan yang merepotkan dan melelahkan. Tetapi tidak demikian pada kegiatan seperti band, teater, basket.
Keadaan tersebut jelas memerlukan sikap dan pandangan yang berbeda dalam mensiasatinya jika ingin keberadaan guru benar benar fungsional dan berdampak pada anak didik. Hal ini pada akhirnya menghendaki peran yang khas dari guru yang harus bergeser menjadi fasilitator, motivator, katalisator dan tutor. Jika peran peran tersebut tidak dapat dimainkan, tidak mustahil jika kemudian ia terpinggirka dan kehilangan respect dari para muridnya Hal ini bisa dilihat pada salah satu situasi yang secara tidak sengaja saya jumpai diluar sepengetahuan mereka:
Seorang siswa keluar dari ruang guru. Seorang temannya bergegas menghampirinya dan bertanya:
” Gimana? Kok lama banget?.
” Biasa, ndengerin ceramah umum dulu”
” Yaaah, biar kamu insyaf, tahu!”
” Halah ...Hweek!. Dasar banyak mulut!”
” Lha dikasihkan nggak?”
” Nggak, malah disuruh panggil orang tua. Ah mbok biarin aja, kali aja mau digadaikan; kan tanggal tua?”
” Ha ha ha..!” keduanya tertawa.
Rupanya siswa tersebut sedang menemui salah seorang guru untuk meminta kembali ponsel miliknya yang baru saja disita karena dipakai mainan saat jam pelajaran.
Kejadian kedua adalah saat kami para guru merasa risih dan gelisah melihat isi HP yang konon kata anak anak banyak berisi gambar dan situs porno. Oleh kepala sekolah kami diminta koordinasi (guru agama, guru BK dan kordinator 6K) untuk me razia ponsel mereka. Lucunya, baru masuk satu kelas, buru buru kami menghentikan aksi setelah menyadari ketidaksiapan ( baca:ketidakmampuan ) kami mengoperasikan semua jenis ponsel dengan berbagai type yang mereka punya. Kami benar benar merasa tak berdaya sekaligus malu.
Pengalaman itu sungguh terasa menyakitkan, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mau merenungkan kembali apa yang selama ini telah saya lakukan. Boleh jadi kejadian di atas pernah terjadi pada diri saya tanpa saya sadari?. Kejadian tersebut juga mengajarkan saya untuk tidak lagi tampil sebagai ”pengajar” (techer) yang ”maha tahu” ataupun ” yang mahakuasa”, tetapi lebih sebagai seorang sahabat yang tampil dalam pribadi yang hangat dan mengundang rasa hormat serta penuh keakraban bagi siswa, bukannya sebagai hakim atau polisi yang siap menjatuhkan sangsi hukuman pada setiap siswa yang melanggar.
Peristiwa tersebut juga mengajarkan pada saya untuk rendah hati, mau terus belajar, dan terbuka menerima kritik. Saya juga merasa perlu merubah paradigma lama selama ini yang berfikir bahwa persoalan ketidakdisiplinan siswa selalu dihubungkan dengan masalah ”materi” tata tertib; tetapi juga memikirkan masalah bagaimana menegakkan tata tertib tersebut dikomunikasikan dan ditegakan dengan cara yang lebih terhormat dan bermartabat. Karena ternyata penegakan tata tertib yang dilakukan secara kaku, sepihak, mekanistis, dan kurang humanis dengan memposisikan diri sebagai polisi sekolah daripada pembimbing. membuat hubungan guru-murid menjadi tidak harmonis dan tidak jarang berakhir dengan situasi konflik dan kebencian. Hal ini pula yang mendorong saya merasa perlu untuk melakukan kontrak belajar di awal pembelajaran sebagai bentuk kepercayaan saya kepada para siswa yang sudah dewasa untuk merumuskan dan menemukan kebaikan bersama sekaligus membiasakan siswa untuk menghadapi resiko resiko yang dipilih dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menjadi semakin menyadari bahwa untuk membentuk karakter siswa, seorang guru tidak cukup melakukan proses transformasi, tapi harus melalui proses transaksi nilai hingga intertransformasi. Dengan demikian guru hadir di kelas tidak sekedar fisiknya ataupun pikirannya, tetapi ia juga hadir dengan segala yang ada padanya; fikirannya, sikap, ucap serta perilakunya.

Jadilah Guru yang Inspiratif



Jadilah Guru yang Inspiratif
Catatan singkat, guru dan tantangan perubahan

Oleh:
Purwono Nugroho Adhi
katekis@yahoo.com

Sekedar kata awal
Pada tanggal 29 Agustus 2007, saya tertarik suatu artikel dalam Koran Kompas yang ditulis oleh Rhenald Kasali pada rubrik opini. Tulisan itu memberi gagasan yang menarik terkait dengan guru. Dalam tulisan itu, dikatakan, bahwa kita mengenal dua jenis guru, yaitu guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum mengajar sesuai apa yang diacu atau sesuai standarnya, sedangkan guru inspiratif mengajar siswanya dengan sesuatu yang membuat siswanya kreatif dan termotivasi. Menurut artikel tersebut, kita jarang menemukan guru yang inspiratif ini, kebanyakan guru menjadi guru yang habitual (kebiasaan-tradisi) saja.

Untuk menjadi guru yang inspiratif ini memang tidak mudah, karena dirinya harus membawa sesuatu yang tidak biasanya, mampu menembus batas tradisi, dan kreatif. Guru yang inspiratif memang berbeda dengan guru kurikulum, ia selalu ingin perubahan, peka terhadap situasi dan konteks hidup siswanya. Menjadi guru inspiratif tentu saja tidak dapat diraih dengan hanya sekedar "berbeda", ia membutuhkan komitment tinggi terhadap perubahan, memahami, serta mampu membawa siswanya memahami dunia melalui dirinya sendiri.

Melihatlah yang paretto
Sejarah peradaban dimana pun tak pernah lepas dari perubahan. Ia berubah atau diubah. Begitupun kita, bahwa denyut nadi ini bergerak, hidup, kalau berubah. Denyut nadi alam telah memperlihatkan hal itu, perubahan pasti terjadi, baik itu evolutif (perlahan) ataupun dengan revolutif (cepat). Tumbuh, berkembang, adalah jiwa konsekwensi kehidupan.

Jika ingin berubah harus bersedia untuk melihat. Melihat, mengandaikan kita harus bersedia terbuka kepada segala sesuatu perubahan yang terjadi. Melihat, membutuhkan kemauan, sekaligus analisa. Agar kita mampu "melihat" dengan maju, maka kita harus melihat pada dua sisi atau segi , yaitu melihat apa yang KONTRAS, dan melihat apa yang KONFONTRATIF.
Pengalaman kontras, mengajak kita berpikir lain, kreatif dan imajinatif. Kita tidak hanya melihat dari apa yang biasannya, melainkan dari apa yang tak biasa. Dengan "melihat" yang tak biasa, maka kita diajak untuk berpikir, bahwa ada banyak pilihan, ada banyak ragam, ada banyak jalan, dan masih banyak yang lainnya. Kita berusaha melihat sesuatu yang kontras tersebut dihadirkan di dalam pergulatan penglihatan kita. Kita disadarkan bahwa ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Dengan melihat kita sadar bahwa kita perlu berubah dan melakukan sesuatu di tengah zaman yang penuh tantangan dan perubahan ini.

Sering kali apa yang biasanya ada, baik, itu perilaku, budaya, sistem dan lain sebagainya, selalu ada yang disebut mayoritas sebagai yang 80%, dan ada 20% yang bisa dikatakan minoritas. 80% adalah apa yang normal, namun yang 20% adalah yang ab-normal. Kita mampu melihat secara "berbeda", kontras dan konfrontatif, jika kita selalu melihat fenomena itu dari yang 20% ini. Kita perlu melihat fenomena itu bukan apa yang kebanyakan, melainkan apa yang "disingkirkan". Kita harus melihat segi-segi "lain" dari apa yang kebanyakan muncul. Biasanya 20% malah yang kelihatan, kontras, konfrontatif. Kreatifitas muncul jika kita dapat mengakomodir dari yang 20% ini. Biasanya pula 20% ini selalu mempunyai nilai dan makna yang lebih dibandingkan dari yang 80%, karena biasanya ada prinsip, pola, sikap dan latar belakang yang bersifat kontras. Jika kekontrasan dari 20% ini dapat diamati dan dianalisa, maka lahirlah suatu kreatifitas, kajian yang akan memperkaya, beragam dan inovatif.

Mulailah pengajaran yang kreatif
Dalam pendidikan, proses pembelajaran perlu kreatifitas dengan tetap memperhatikan aspek kognitifnya. Alasannya, perkembangan usia siswa, konteks budaya dan berbagai hal yang perlu dicari bersifat menyapa aspek imaginatif, menarik, dan menyenangkan, tanpa meninggalkan aspek pembelajaran secara utuh (kognitif-afektif serta psiko-motorik). Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang sederhana namun mampu memberikan suasana yang tepat bagi alam pikir dan psikologis siswa, sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat dalam proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran bersifat menggairahkan, menyenangkan dan menarik, maka siswa akan termotivasi dan terlibat secara penuh. Agar proses pembelajaran berjalan seperti itu, maka kita perlu dukungan berbagai metode, sarana/media serta ketrampilan dalam mengolah dan memprosesnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi sikap atau cara pandang kita, yaitu:
  1. Terbuka dan berupaya mencari berbagai kemungkinan, baik dari orang lain, buku, referensi internet dan sebagainya, agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
  2. Utuh dan fleksibel dalam mengemas pembelajaran. Metode-pendekatan dan sarana/media yang dipergunakan bervariasi, tidak hanya ceramah/informatif saja, tetapi juga dengan berbagai pendekatan yang menarik, namun tidak lepas dari komponen segi kognitif-afeksi dan psikomotorik siswa.
  3. Terlibat secara penuh untuk mengamati, menganalisa, memahami gaya belajar dan kemampuan masing-masing siswa sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran.
  4. Memotivasi siswa untuk berkeinginan belajar terus-menerus dan memberi peluang untuk belajar sesuai dengan kemampuannya.

Multitasking pembelajaran sebagai tantangan
Dewasa ini, yang perlu kita sadari, adalah tantangan budaya multitasking. Budaya multitasking ini sudah mempengaruhi bagaimana siswa mengikuti sebuah proses pembelajaran. Ciri yang paling mendominasi adalah munculnya komponen budaya inderawi yang utuh, meliputi melihat, mendengar, merasakan-menyentuh dan bereksplorasi. Bahasa yang dulunya cenderung mengajar, kemudian berubah menjadi bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasa media tersebut lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu, bahasa itu menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa. Siswa akan tertarik pada sifat-sifat proses pembelajaran yang auditif dan visualitif. Mungkin, media komunikasi populer bisa menjadi salah satu alternatif.

Media komunikasi populer itu hendaknya ditempatkan dalam rancangan pembelajaran yang menarik dan kreatif. Hal itu sangat beralasan, karena pengaruh media informasi yang sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi dengan sesamanya dewasa ini.

Media komunikasi populer perlu kita kembangkan sebagai salah satu komponen penting dari pembelajaran kita. Salah satunya dapat meliputi, pemutaran film-film populer untuk pendalaman materi, bahasa foto, bahasa gambar, dan lain sebagainya. Intinya media pembelajaran kita paling tidak harus memuat dua unsur penting, yaitu:
  1. Unsur Inderawi. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi kegiatan inderawi, meliputi pengelihatan dan pendengaran. Dalam mengolah materi perlu dipergunakan bahasa yang tidak hanya verbal, melainkan juga audio-visual, dengan sarana visualisasi melalui gambar-gambar yang menarik dan menggugah imaginasi siswa, dan sarana auditif yang menarik pendengarnya.
  2. Unsur Populer. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi berbagai bahasa, cara, model, gambar, lagu yang populer dikenal siswa. Unsur populer ini bukan menggantikan materi, melainkan pendekatan untuk mendukung proses mendalami materi.
Untuk itu, unsur-unsur tersebut dapat kita kembangkan menjadi 2 pendekatan di dalam proses pembelajaran kita, yaitu:
  1. Pendekatan Visual-auditif. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami materi dengan mempergunakan berbagai sarana visual-auditif, yaitu gambar-poster, lukisan, karikatur, film-film animatif, lagu-lagu dan lain sebagainya. Pendekatan ini ingin mengajak siswa supaya konkret melihat visualisasi yang harus ia pelajari, dan secara inderawi mampu memberikan daya pikat, baik dari segi penglihatan maupun pendengaran.
  2. Pendekatan Populer. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami suatu materi dengan mempergunakan berbagai tehnik dan model yang populer. Guru membuat prosesnya seperti model acara televisi, misalnya talk show. Pendekatan ini dapat mempergunakan film, gambar, lagu yang populer dikenal oleh siswa dalam mendalami suatu materi, misalnya film Sitting Duck, film animasi dari Walt Disney, dan sebagainya.
Untuk mendukung pendekatan tersebut, kita perlu mengupayakan sarana-sarananya, antara lain:
  1. Media Gambar (visual), adalah sarana atau media yang berbentuk poster, lukisan, photo, karikatur, dan sebagainnya, yang fungsinya untuk mendukung pembelajaran secara visual. Hal ini dapat dilakukan dengan: 1). Divisualisasikan, artinya gambar (poster, lukisan, photo, karikatur, dll), digunakan untuk memvisualkan tema atau gagasan yang ingin didalami atau dipelajari, sarana atau media bantu penjelasan dari guru atau media yang digunakan untuk diskusi, diamati, dan didalami-direfleksi bersama (apresiasiatif). 2). Dinarasikan, artinya gambar (poster, photo, dll) sebagai media untuk bercerita (storytelling). Gambar yang disajikan, membantu kita memberikan "suasana" dan pusat perhatian bagi siswa. 3) Mempergunakan bahasa gambar melalui papan tulis. Bahasa gambar ini memang membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena kita harus mampu membuat bahasa gambar itu untuk disajikan kepada siswa dengan cepat namun menarik.
  2. Media Auditif, adalah sarana atau media yang digunakan melalui pendengaran, misalnya lagu cassette, CD, atau cerita cassette yang sifatnya hanya didengarkan. Biasanya media ini digunakan untuk mendukung pendekatan-pendekatan lain misalnya, ekspresi gerak atau populer, digunakan sebagai sarana memberikan "suasana" ruang atau sebagai media untuk didalami bersama.
  3. Media audio-Visual (Film), adalah sarana atau media yang utuh untuk mengkolaborasi bentuk-bentuk visual dengan audio. Media ini bisa dipergunakan untuk membantu penjelasan guru sebagai peneguh, sebagai pengantar, atau sebagai sarana yang didalami. Media ini tidak hanya dikembangkan melalui bentuk film saja, tetapi dapat dikembangkan melalui sarana komputer dengan tehnik powerpoint dan flash player, hal ini perlu ketrampilan dan sarana yang khusus.