05 Oktober 2007
Agama yang Rahmatan Lil Alamin Melalui Pendidikan agama yang membebaskan
Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru Agama SMA PIRI 1 Yogyakarta
Suatu ketika salah seorang siswa menyatakan kepada saya:
” Bu Tuhan-nya orang Kristen itu kok kayaknya lebih ramah, lebih bersahabat dan lebih wellcome ya Bu. Kenapa ya?. Kalo Gusti Alloh kita tuh kayaknya jauuuh banget, galak dan suka ngancem-ngancem ”
Saya diam sejenak karena terus terang saya belum siap menerima pertanyaan itu. Sayapun balik bertanya: Benarkah? Dari mana kamu bisa menyimpulkan itu?. Dia menjawab:” Saya diam diam kan sering juga memperhatikan ceramah rohani agama nasrani dan juga agama lain, kayaknya ga pernah ada ancaman; Tapi para da’i selain Aa’ Gym kayaknya serem deh.” Saya kejar terus dengan pertanyaan: apakah hal yang sama juga dirasakan juga oleh siswa lain. Sebagian mereka setuju dan sebagian besar menjawab tidak tahu.
Setelah saya mencoba melihat dan mrenungkannya, saya seolah tersadar tentang apa yang telah saya lakukan selama ini, berkaitan dengan fungsi dan peran saya sebagai guru agama. Jangan jangan ketika saya memperkenalkan Tuhan pada mereka juga tidak jauh berbeda? Kemudian saya jadi ingat waktu kecil saya ketika guru ngaji saya menggambarkan shirothol Mustaqiim (jalan yang lurus); melalui cerita tentang titian rambut dibelah tujuh yang harus dilalui oleh semua orang menuju sorga. Dibawah jembatan itu terdapat api yang menyala nyala yang siap memanggang siapa saja yang gagal melewatinya. Itulah neraka Jahannam. Cerita tersebut ternyata sangat populer dan diceritakan secara turun temurun, terutama oleh para guru TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) kepada para santri kecilnya. Tak terkecuali anak saya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar murid saya. Mereka menerimanya dari para guru ngajinya juga.
Saya juga ingat ketika guru ngaji saya menasehati salah seorang teman saya yang kedapatan mengumpat atau berbohong. Beliau berkata: ” Hus! itu dosa tahu nggak? Nanti di akhirat sana lidah kamu bakal menjulur, kemudian dipotong. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi. Menjulur lagi, kemudian dipotong lagi dan seterusnya”. Hal yang lebih mengerikan juga saya ingat ketika guru saya menggambarkan tentang hari kiamat dan berbagai siksa neraka seperti punggung diseterika dan tubuh yang hangus terbakar.
Pernah suatu ketika, Tyas anak bungsu saya yang baru duduk di kelas 4 SD protes. Katanya:” Tuhan tidak adil! Lebih enakan jadi laki laki daripada perempuan. Jadi perempuan sangat banyak beban tugasnya dan repot. Sudah harus hamil, melahirkan, menyusui, ngurusi rumah tangga. Repot karena harus pakai pakaian rangkap(jilbab). Sedangkan laki laki kan enggak. Cuma cari uang saja. Cepat cepat saya menyahut:” Lho Bapak kan juga bantu ibu mencuci setiap harinya?.” Tapi tetap saja dia merasa tidak adil.
Kira kira seminggu kemudian barulah saya mengerti mengapa dia bersikap demikian setelah dia bertanya tentang laki laki bukan muhrim . Setelah saya telusuri pelan pelan dia mulai bercerita tentang kajian fiqhun-Nisa’ (kajian kewaniaan) yang diselenggarakan oleh sekolah. Dia bercerita banyak tentang bagaimana bu gurunya menjelaskan tentang ”keharusan- keharusan” yang harus dipatuhi oleh wanita muslimah serta larangan larangan yang harus dihindarinya. Saya jadi bisa ikut merasakan, betapa yang namanya agama begitu berat dirasakan oleh seorang anak yang baru berusia 10 tahun seperti Tyas.
Saya baru menyadari tentang peran pentingnya metode yang sering jauh lebih menentukan dari pada pesan/materi yang ingin disampaikan. Barangkali ini yang terjadi di sekolah sekolah, seperti contoh di atas. Pendekatan normatif yang digunakan membuat agama begitu berat membebani dan membelenggu kebebasan mereka.
Saya benar benar memutar otak; bagaimana menjelaskan pada tyas tentang keadilan Tuhan. Tidak sengaja saya melihat sebuah judul buku di terpampang di etalase toko buku yang berjudul Bangga Menjadi Wanita. Dengan versi dan bahasa yang sederhana saya mencoba menjelaskan bahwa saya begitu bangga dan bersyukur menjadi perempuan; menjadi ibu.Diapun bertanya, Mengapa? Saya jawab:
” Coba perhatikan di sekitar kita. Ada disebut ibu jari (tapi tidak ada bapak jari), ibu pertiwi (tapi tidak ada bapak pertiwi), ada ibu kota (tapi tidak ada bapak kota). Apa itu artinya? Tyaspun tertawa terkekeh. Kemudian saya lanjutkan dengan melihat realitas disekelilingnya: Bapak bekerja, ibu juga bisa bekerja; Bapak menyopir, ibu juga bisa; Tapi... jika ibu bisa hamil, melahirkan dan menyusui, sebaliknya bapak ga bisa melakukannya. Apa menjadi ibu itu bukan sesuatu yang hebat dan membanggakan?
Kesan ketidakramahan Tuhan-nya orang Islam ternyata didukung dengan munculnya tayangan televisi yang menyebut programnya ”sinetron religi”. Atau serial simetron Hidayah. Tapi yang muncul justru berbagai ”aksi” Tuhan menebar siksaNya kepada setiap hambaNya yang berbuat dosa seolah tanpa ampun. Lihat saja dari judulnya saja yang mengerikan, seperti: Istri selingkuh, mati bau anyir; Menantu Durhaka, mati mengenaskan, Makan harta anak yatim mati dimakan belatung, dsb.
Di dalam ayat ayat Al-Qur’an memang ada beberapa ayat yang mengandung ancaman, tetapi ayat ayat tersebut sangat kecil dibandingkan dengan ayat ayat yang menggambarkan kasih sayang Tuhan, ke-Maha Pengampun-an Tuhan dengan berbagai pintu pertaubatan yang ditawarkan. Apalagi jika kita menyimak realitas keseharian akan dapat dilihat besarnya ke-Maha Makluman Tuhan. Para guru agamapun sampai hari ini masih banyak yang menggunakan pendekatan normatif (fiqih) dalam melihat masalah kehidupan. Siswa tidak boleh begini begitu, yang ini haram yang itu dosa. Serhingga ia lebih terlihat sebagai sosok hakim yang siap mengadili dari pada seorang pembimbing yang menjadi sahabat anak.
Cita rasa keberagamaan yang dimiliki seseorang memang tidak terlepas dari bagaimana sebuah agama (Tuhan) itu dikenalkan, dipersepsikan dan dibiasakan oleh lingkungan, para orang dewasa, tetutama para muballigh (para da’i, kyai, termasuk para guru agama). Untuk menggambarkan ini saya ibaratkan semangkok bakso; jika kita memakannya secara parsial, misalnya cabenya dulu, lalu cuka, sausnya, baru kemudian baksonya maka akan terasa aneh di lidah kita. Tapi jika kita meramunya dengan komposisi yang pas kemudian menikmatinya dengan cara yang tepat, maka akan terasa bakso yang mak nyuus, lezat dan menyehatkan.
Ini adalah pelajaran berharga sekaligus tantangan bagi guru agama agar dapat menghadirkan Tuhan dalam sajian pembelajaran di kelasnya secara lebih ramah, damai dan menyejukkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar