04 Oktober 2007

MENJADI SAHABAT MURID YANG RENDAH HATI, MAU BELAJAR DAN TERBUKA TERHADAP KRITIK

Oleh: Ibu Anis Farikhatin
Guru SMA PIRI 1 Yogyakarta

Sebagai seorang guru tentu saja saya pernah merasakan saat menjadi murid. Berbagai pengalaman unik, mengharukan, membahagiakan sampai yang memalukan terekam kuat dalam ingatan sekaligus pelajaran berharga bagi saya. Akan tetapi sekaarang ini situasinya jauh berbeda dengan dulu waktu saya sekolah. Dulu keberadaan guru demikian dominan dan sentral. baik di masyarakat maupun di dalam kelas. Minimnya akses informasi karena keterbatasan tehnologi membuat guru merupakan sosok yang dianggap ”yang paling tahu”; oleh karenanya tempat banyak orang bertanya.
Sebutan ”Mas Guru” merupakan simbol penghormatan bagi guru. Di kelas guru merupakan sumber informasi utama bagi murid muridnya dan sekaligus berperan sebagai subyek belajar. Dengan posisinya itu guru menjadi sangat berkuasa dalam memainkan otoritasnya, termasuk dalam menjatuhkan sangsi hukuman bagi anak didiknya. Saya ingat betul sosok guru SD saya kelas 4 yang suka mencubit lengan atas siswanya yang melanggar. Karena demikian sakitnya sampai ”kucingen” (mengerang erang kaya kucing kesakitan) dan bekasnya 2 minggu tidak hilang. Anehnya tak ada orang tua yang protes. Para orang tua itu begitu percaya pada guru, sehingga apapun yang dilakukan guru dilihatnya sebagai cara ”mendidik” untuk bisa mengubah anaknya menjadi lebih baik. Ketika nenek saya tahu ada kira kira 3 buah bekas cubitan itu di lengan, beliau berkomentar: ” Lha kamu bandel sih, makanya jika tidak ingin dihukum lagi, besok besok jangan bandel !”
Hal di atas memang bisa difahami karena guru adalah sumber informasi, figur teladan yang mentransformasikan nilai nilai dalam kehidupan siswa mana yang pantas dan tidak pantas; mana yang baik dan buruk. Di era sekarang ini guru bukanlah satu satunya sumber informasi. Kemajuan tehnologi elektronika telah membawa masyarakat dari lingkungan lokal ke lingkungan global. Banjir informasipun melaju tak terbendung. Pergantian informasi tidak lagi per-hari, atau per-jam; tapi per-detik. Seiring dengan itu posisi dan peran guru mau tidak mau bergeser. Dia tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi, karena telah diganti oleh televisi, internat dan hand phone. Ia tak lagi sebagai figur sentral karena telah diganti oleh Madonna, Brad Pitt, Primus dan SpongBob. Berbagai produk budaya yang menampilkan gaya hidup dari berbagai bangsa mengalir tanpa batas.
Sayangnya perubahan dan pergeseran ini sering tidak diikuti dengan kesiapan mental, spiritual maupun intelektual. Ketidak siapan itu bukan saja dialami oleh anak anak dan remaja, tetapi juga oleh para orang tua, bahkan para guru. Pada suatu kesempatan saya pernah diprotes oleh salah seorang siswa ketika saya menyoroti tentang setelah menyaksikan ditangkapnya Roy Martin, pelawak Doyok, Polo, Deri, serta maraknya CD porno; hasil ulah dari para orang tua. Mereka mengatakan:” Bu, kenapa disurat kabar, spanduk, seminar sering temanya tentang kenakalan remaja?. Ternyata yang kelahi, narkoba dan pornoaksi para orang tua juga!”.
Kemajuan tehnologi komunikasi, disamping membantu meningkatkan produktifitas manusia modern, ternyata juga menjadi ancaman, beban sekaligus tantangan bagi sebagian guru dalam mengelola kelas. Terlebih lagi pada sekolah swasta seperti SMA PIRI I. Dari sisi kualitas inputnya, jelas jauh di bawah sekolah negeri. Padahal survey menunjukkan adanya hubungan paralel antara prestasi belajar dengan motivasi dan konsentrasi belajar siswa. Sepeda motor dan media elektronik seperti HP, MP, Notebook, sudah mulai menjadi kebutuhan ”penting” mereka. Sayangnya mereka lebih melihatnya dari nilai gengsinya (merek dan modelnya) dari pada nilai fungsinya. Berbagai fasilitas diatas berdampak pada berkurangya motivasi, konsentrasi dan perhatian mereka pada pelajaran sekolah. Hal tersebut terlihat pada kurang siapnya mereka untuk memasuki pelajaran setelah pergantian jam, saat istirahat maupun saat waktu jeda lainnya. Mereka terlihat asyik bahkan sampai jam pelajaran berjalan.Terlebih lagi untuk guru tertentu yang mereka pandang permisif. Berbagai fasilitas tersebut telah mulai memanjakan anak anak sehingga berdampak pada menurunnya fighting spirit mereka. Mereka mulai kurang berminat menjadi pengurus OSIS, PMR, KIR karena dianggapnya sebagai kegiatan yang merepotkan dan melelahkan. Tetapi tidak demikian pada kegiatan seperti band, teater, basket.
Keadaan tersebut jelas memerlukan sikap dan pandangan yang berbeda dalam mensiasatinya jika ingin keberadaan guru benar benar fungsional dan berdampak pada anak didik. Hal ini pada akhirnya menghendaki peran yang khas dari guru yang harus bergeser menjadi fasilitator, motivator, katalisator dan tutor. Jika peran peran tersebut tidak dapat dimainkan, tidak mustahil jika kemudian ia terpinggirka dan kehilangan respect dari para muridnya Hal ini bisa dilihat pada salah satu situasi yang secara tidak sengaja saya jumpai diluar sepengetahuan mereka:
Seorang siswa keluar dari ruang guru. Seorang temannya bergegas menghampirinya dan bertanya:
” Gimana? Kok lama banget?.
” Biasa, ndengerin ceramah umum dulu”
” Yaaah, biar kamu insyaf, tahu!”
” Halah ...Hweek!. Dasar banyak mulut!”
” Lha dikasihkan nggak?”
” Nggak, malah disuruh panggil orang tua. Ah mbok biarin aja, kali aja mau digadaikan; kan tanggal tua?”
” Ha ha ha..!” keduanya tertawa.
Rupanya siswa tersebut sedang menemui salah seorang guru untuk meminta kembali ponsel miliknya yang baru saja disita karena dipakai mainan saat jam pelajaran.
Kejadian kedua adalah saat kami para guru merasa risih dan gelisah melihat isi HP yang konon kata anak anak banyak berisi gambar dan situs porno. Oleh kepala sekolah kami diminta koordinasi (guru agama, guru BK dan kordinator 6K) untuk me razia ponsel mereka. Lucunya, baru masuk satu kelas, buru buru kami menghentikan aksi setelah menyadari ketidaksiapan ( baca:ketidakmampuan ) kami mengoperasikan semua jenis ponsel dengan berbagai type yang mereka punya. Kami benar benar merasa tak berdaya sekaligus malu.
Pengalaman itu sungguh terasa menyakitkan, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mau merenungkan kembali apa yang selama ini telah saya lakukan. Boleh jadi kejadian di atas pernah terjadi pada diri saya tanpa saya sadari?. Kejadian tersebut juga mengajarkan saya untuk tidak lagi tampil sebagai ”pengajar” (techer) yang ”maha tahu” ataupun ” yang mahakuasa”, tetapi lebih sebagai seorang sahabat yang tampil dalam pribadi yang hangat dan mengundang rasa hormat serta penuh keakraban bagi siswa, bukannya sebagai hakim atau polisi yang siap menjatuhkan sangsi hukuman pada setiap siswa yang melanggar.
Peristiwa tersebut juga mengajarkan pada saya untuk rendah hati, mau terus belajar, dan terbuka menerima kritik. Saya juga merasa perlu merubah paradigma lama selama ini yang berfikir bahwa persoalan ketidakdisiplinan siswa selalu dihubungkan dengan masalah ”materi” tata tertib; tetapi juga memikirkan masalah bagaimana menegakkan tata tertib tersebut dikomunikasikan dan ditegakan dengan cara yang lebih terhormat dan bermartabat. Karena ternyata penegakan tata tertib yang dilakukan secara kaku, sepihak, mekanistis, dan kurang humanis dengan memposisikan diri sebagai polisi sekolah daripada pembimbing. membuat hubungan guru-murid menjadi tidak harmonis dan tidak jarang berakhir dengan situasi konflik dan kebencian. Hal ini pula yang mendorong saya merasa perlu untuk melakukan kontrak belajar di awal pembelajaran sebagai bentuk kepercayaan saya kepada para siswa yang sudah dewasa untuk merumuskan dan menemukan kebaikan bersama sekaligus membiasakan siswa untuk menghadapi resiko resiko yang dipilih dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menjadi semakin menyadari bahwa untuk membentuk karakter siswa, seorang guru tidak cukup melakukan proses transformasi, tapi harus melalui proses transaksi nilai hingga intertransformasi. Dengan demikian guru hadir di kelas tidak sekedar fisiknya ataupun pikirannya, tetapi ia juga hadir dengan segala yang ada padanya; fikirannya, sikap, ucap serta perilakunya.

Tidak ada komentar: