18 Maret 2008

Pendidikan Kesehatan dan Reproduksi (KESPRO) di Tengah Tantangan dan Harapan

Oleh Anis Farikhatin*

1. Resiko Perkembangan Tehnologi Informasi Terhadap Pergaulan Remaja
Perkembangan tehnologi telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Tehnologi elektronik misalnya; telah mempermudah akses pada informasi tak terbatas. Akan tetapi di sisi lain memunculkan persoalan yang sangat komplek di segala lini kehidupan, terutama bagi remaja. Persoalan yang muncul bisa bersifat medis, psikologis, maupun sosial-ekonomi. Hal ini disebabkan karena banjir informasi yang mereka terima tanpa saringan tersebut tidak diikuti dengan kesiapan intelektual, mental dan spiritual yang memadai.
Salah satu akibat dari banjir informasi yang tidak dihadapi dengan segala kesiapan ini adalah pola pergaulan remaja yang cenderung semakin bebas seiring dengan sikap para orang tua dan masyarakat yang semakin permisif (longgar). Tak pelak lagi kebebasan pergaulan ini sering berujung pada kejahatan seksual. Gejala yang bisa dilihat adalah banyaknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, maraknya tempat praktek pengguguran kehamilan (unsafe abortion) secara ilegal serta munculnya trauma akibat berbagai bentuk kekerasan seksual dan persoalan sosial-ekonomi yang muncul akibat berhenti sekolah.

Jika dicermati lebih lanjut, kenyataan tersebut merupakan fenomena gunung es dimana yang terlihat hanyalah yang dipermukaan, sedangkan keadaan riil dibawahnya berlipat-lipat jumlahnya namun masyarakat tidak peduli dan abai dengan sikap dingin. Gejala tersebut akan terus menguat seiring dengan berkembangnya konsumerisme-hedonistik. Para remaja mulai terbawa pada suatu pandangan bahwa remaja harus memiliki pacar; dan berkencan dalam proses. Yang lebih mengejutkan lagi mereka sudah mulai setuju terhadap hubungan seks pra-nikah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap siswa yang duduk di bangku sekolah pada tahun 2004 yang menghasilkan informasi sebagai berikut:
1)Jumlah remaja sekolah (SLTP & SLTA) di DIY sebanyak 64.928 siswa. 2)Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan akan menikah mencapai 72,5 % siswa laki laki dan 27,5 % siswa perempuan.

Selain itu Synovate Research yang meneliti perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, sejak September 2004 (survey ini mengambil 450 responden dengan kisaran usia antara 15-24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah menghasilkan informasi sebagai berikut: 1) Pengalaman seksual remaja : 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13-15 tahun. 2) Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan suka sama suka sebanyak 71.5% siswa laki laki dan 28,5 % siswa perempuan. Ketika para siswa tersebut ditanya mengenai proses terjadinya kehamilan, ada 86 % siswa baik laki laki maupun perempuan yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur (PSS PKBI 2004).

Jika kemudian ditanya lebih lanjut, siapa yang paling tidak berdaya menghadapi resiko dari pergaulan yang cenderung bebas tersebut? Jawabnya tentu saja perempuan. Bagaimana tidak, karena perempuanlah yang akan menanggung akibat paling berat, mulai dari pemaksaan, aborsi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) sampai HIV/AID. Keadaan ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan serta kekurang fahaman mereka tentang kesehatan reproduksi (kespro), khususnya masalah seksualitas. Hal tersebut diperparah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak memihak pada perempuan, seperti dikeluarkan dari sekolah bagi siswi yang kedapatan hamil. Keadaan seperti itu membuat kondisi kejiwaan mereka mudah rapuh sehingga mudah kehilangan jati diri, harga diri dan masa depan.

Sementara itu masyarakat dan para orang tua bersikap kurang peduli dan masih menganggap masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan. Tidak terkecuali para tokoh agama. Dalam masyarakat Islam menyelesaikan persoalan remaja lebih sering menggunakan pendekatan fiqih (hukum) yang menghakimi dari pada memberikan bimbingan, arahan yang bersifat dialogis solutif. Pemerintah juga terlihat kurang peduli karena menganggap permasalahan kesehatan reproduksi (kespro) masih dianggap belum serius dan tidak perlu menjadi prioritas karena sudah dianggap inhern dengan mata pelajaran agama, PPKn, IPS, dan biologi.

2. Pendidikan kespro sebagai solusi alternatif
Keadaan seperti di atas sudah mulai disadari oleh para orang tua dan juga guru, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan guru agama. Adapun tujuan pendidikan kespro adalah: 1) Memberikan dan mengelola pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi siswa. 2) Membangun sikap positif pada diri siswa untuk menghadapi persoalan seksualitas dan reproduksi 3) Membentuk perilaku siswa yang bertanggung jawab dalam konteks seksualitas dan reproduksi
Sekolah merupakan salah satu sektor pendidikan yang paling teroganisir dan mudah dikontrol. Upaya memasukkan materi kesehatan reproduksi ke dalam kelas merupakan sesuatu peluang berharga yang sangat memungkin untuk dilaksanakan meskipun dengan penerapan yang berbeda. Apalagi dengan mulai berlakunya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) memberi kesempatan yang luas bagi para guru untuk mengembangkan kreativitasnya dalam pembelajaran di kelas yang diampunnya.

Mengatasi masalah remaja yang terkait dengan masalah kesehatan dan reproduksi (kespro) merupakan masalah rumit dan kompleks. Ia tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja. Pendidikan kesehatan dan reproduksi bukanlah satu satunya ’jurus mabuk’ yang bisa menyembuhkan permasalahan remaja hanya dengan sekali pukul. Ia harus berjuang melalui berbagai kendala yang cukup menguras kesabaran mulai dari level birokrasi, level konsep, sampai pada level implementasinya di lapangan (proses pembelajaran di kelas). Terutama sekali pada level implementasi; karena setiap kegiatan pembelajaran akan berhadapan dengan masalah yang tidak kalah rumitnya, misalnya masalah kondisi (manajemen) tiap tiap sekolah yang berbeda; peserta didik yang berbeda latar belakangnya (ada SMK yang mayoritas putra/ putri, ada SMA yang komposisi siswa putra dan putrinya seimbang), situasi dan kondisi yang pada saat materi tersebut diajarkan, sarana apa yang diperlukan/ yang sesuai dengan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai, bagaimana pendekatan yang paling tepat digunakan dan sebagainya.

Dengan demikian. perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan,Dinas Pendidikan, BKKBN, PKBI, pemuka agama secara moril maupun materiil kepada para para guru pengampu materi kespro agar lebih mantap melangkah dengan penuh percaya diri.

3. Perlunya Pendidikan Kespro yang berorientasi pada nilai (Affective Oriented)
Pendampingan yang intensif melalui pertemuan rutin para guru pengampu untuk berbagi pengalaman sangat diperlukan untuk lebih melengkapi/ menyempurnakan materi, metode, media maupun pendekatan yang digunakan. Selain itu materi kesehatan reproduksi (kespro) perlu dikemas dengan strategi pembelajaran yang lebih berorientasi pada pendidikan affektif (nilai nilai).
Guru kespro dituntut untuk mampu menyajikan materi bukan sekedar untuk ”diketahui”; tetapi menjadi “nilai-nilai” yang diinternalisasikan dalam diri peserta didik agar mampu menjadi motivasi dalam bersikap, berbuat dan berperilaku secara kongkrit dalam kehidupan sehari hari. Tanpa hal tersebut pendidikan kespro hanya akan menyelesaikan masalah pada tingkat permukaan berupa menurunnya angka KTD (kehamilan yang tidak dikehendaki) dan aborsi (karena mereka tahu bagaimana melakukan savety sex); tapi tidak menyentuh pada akar persoalannya berupa pelecehan terhadap nulai-nilai hidup dimana aktifitas seksual tidak bisa hanya dimaknai sebagai rekreasi tetapi sesungguhnya mengandung nilai pro-kreasi di mana hidup harus dimuliakan. Untuk itu penting sekali pendidikan kespro diarahkan untuk menjadi bagian dari pendidikan untuk pemuliaan harkat dan martabat manusia melalui penguatan mental spiritual agar mampu berusaha menjadi manusia yang bertanggung jawab, terhormat dan membuktikan manusia sebagai mahluk yang mulia.

*Anis Farikhatin Pendidik di SMA PIRI 1 Jogjakarta

Kenakalan seksual Remaja Tantangan Pendidikan Karakter

Oleh: TH. Tri Harjanti

Berbicara tentang pornografi di kalangan pelajar akan selalu ada cerita yang membuat hati kita terkejut dan kelu. Mulai dari sekedar mencuri-curi melihat gambar mati porno, gambar porno bergerak, bahkan sampai pada pesta seks yang dilakukan suka sama suka atau pun ’jajan’. Trend terbaru adalah bergaya bugil di depan kamera dengan motivasi sekedar senang-senang ataupun dikomersialkan. Pelaku bukan hanya mahasiswa atau pelajar SMA, namun ada juga anak SMP yang notabene masih berusia 12-13-an tahun. Tentu saja sebagian besar pelajar tidak terlibat dalam ‘kenakalan seksual’ tersebut, namun dari pengakuan demi pengakuan pelajar yang telah ‘menyesal’ dapat menjadi jendela bahwa tidak sedikit pelajar yang terlibat. Sebuah situasi yang sangat ironis bahwa kemerosotan moral yang semakin meningkat justru terjadi dalam masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama dan moral.

Persoalan kemerosotan moral tentu tidak terlepas dari pendidikan. Dalam hal ini apa yang ungkapan Mahatma Gandi, salah satu dosa sosial terbesar sebuah masyarakat adalah ‘pendidikan tanpa karakter’(education without character) menjadi sangat relevan. Pendidikan tanpa karakter? Mungkinkah ini adalah akar dari permasalahan kemerosotan moral masyarakat kita khususnya kaum pelajar kita?

Ada beberapa hal menarik saat saya mencoba berbicara dari hati ke hati dengan siswa-siswa yang berkasus tersebut. Sebagai contoh, saat saya ‘ngobrol’ dengan seorang siswa yang bermasalah dan ‘minggat’ dari rumah karena terlanjur hamil. Siswa itu tahu bahwa tindakannnya tidak benar, siswa tersebut sudah dapat membedakan baik dan tidaknya sebuah tindakan, tetapi mereka masih tetap saja melakukan bahkan berulang-ulang.

Latar belakang keluarga-keluarga dari siswa-siswa yang berkasus memang rata-rata adalah keluarga yang berkasus juga. Maksud keluarga berkasus di sini adalah: keluarga salah dalam memberikan perhatian, misalnya semua keinginan anak selalu dipenuhi karena orang tua tidak tega melihat anak kecewa, Keluarga dengan kondisi single parent entah karena perceraian atau meninggal, Keluarga dengan kondisi sang ayah/ibu punya kebiasaan minum dan mabuk, Keluarga dengan kondisi orang tua super sibuk, Keluarga dengan kondisi ekonomi sangat rapuh. Keluarga baik-baik yang selalu mengajarkan berdoa dan tekun beribadah, namun anak kurang mendapat kesempatan atau diberi ruang untuk belajar mengambil keputusan.

Akibat yang paling ditakuti siswa berkasus (misal: hamil) adalah dimarahi orang tua dan dikeluarkan dari sekolah, sementara mereka masih tetap ingin bersekolah. Mereka tidak ingin masalahnya diketahui dan belum siap untuk menjadi orang tua. Maka banyak kasus remaja dengan masalah ini yang ingin menggugurkan kandungan dengan banyak cara, baik dengan menelan pil, pijat, atau pergi ke sebuah klinik ‘rahasia’.

Dalam hal ini remaja dengan masalah ini sesungguhnya tahu arti rasa malu, namun belum mampu bertanggung jawab atas tindakannya. Mereka mampu membedakan perbuatan baik dan buruk, namun belum bisa mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya karena mengalami krisis keteladanan dan kurang mampu menyikapi trend zaman (mengikuti trend tanpa melihat kondisi diri dan keluarga). Karena kurang mendapat kesempatan untuk belajar mengambil keputusan pribadi secara bertanggung jawab. Nilai-nilai hidup yang termuat dalam agama masih diterima secara indoktrinasi (dipaksakan), belum terimplementasi dalam kehidupan pelaku.

Permasalahan di atas sebenarnya bukan lagi rahasia, namun ada pendidik yang belum mengetahui permasalahan tersebut atau bersikap dingin atas situasi yang memprihatinkan ini. Persoalan lainnya adalah karena siswa yang bermasalah umumnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap lembaga sekolah atau bahkan terhadap pribadi guru untuk menjaga ‘rahasia pribadi’ siswa yang bersangkutan. Barangkali karena lembga sekolah lebih sering menghakimi secara sepihak dengan pemberian hukuman tanpa pendampingan yang tepat, atau mungkin remaja bersangkutan akan mendapat cap buruk sehingga akan menambah beban perasaan.

Dari beberapa hal tersebut tawaran pendidikan karakter sebagai usaha untuk mensikapi dan memperbaiki moralitas yang semakin menurun menjadi penting untuk ditanggapi dengan keterbukaan.

Penguatan Karakter
Menurut Doni Koesoema dalam buku “Pendidikan Karakter” (2007) karakter dipahami dalam dua sisi, yaitu: pertama, karakter adalah kondisi bawaan sejak lahir dan manusia tidak dapat menolaknya. Kedua, karakter adalah kemampuan seorang individu untuk mampu menguasai kondisi-kondisi tersebut.

Dengan melihat karakter dari dua sisi tersebut maka karakter dalam diri seseorang bukanlah harga mati (statis) namun dapat berubah (dinamis). Kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan karakter berkembang menjadi baik dan bukan sebaliknya. Karakter juga berkaitan erat dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan. Dengan demikian karakter bukan hasil/produk melainkan salah satu hasil usaha seseorang untuk mengatasi kondisi-kondisi tertentu .

Secara mendasar setiap tindakan manusia sebenarnya terkait dengan usaha untuk mempertahankan diri, memelihara, dan mengarah ke masa depan. Karakter yang dimiliki manusia sangat berperan saat pengambilan keputusan dan tindakan. Pribadi yang memiliki karakter yang baik dan dewasa akan mampu membuat serta mengambil keputusan dan tindakan yang baik (tepat) dengan motivasi yang baik pula. Mengingat bahwa tidak selalu seseorang yang berbuat baik dikarenakan memiliki motivasi yang baik atau berkarakter baik. Contohnya ada anak berbuat baik hanya karena takut dimarahi atau dihukum, atau supaya namanya baik, artinya belum berkarakter.

Setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh seorang manusia tentu tidak akan lepas pengaruhnya dengan kehidupan orang lain/masyarakat sekitar. Jika keputusan dan tindakan yang diambil baik, tentu akan berpengaruh baik pula untuk diri dan sekitarnya. Dengan demikian karakter selain bermuatan nilai-nilai moral selalu berkaitan dengan individu dan sosialnya. Kasus korupsi yang terjadi dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah bukti ketidakmatangan karakter kita sebagai bangsa.

Pendidikan karakter
Dengan pemahaman bahwa karakter dalam diri seseorang bersifat dinamis dan sangat berperan dalam penentuan masa depan baik diri maupun lingkungan sosialnya, maka perlu adanya usaha pendidikan yang mampu mengembangkan karakter seseorang.

Tujuan dari pendidikan karakter adalah menempa individu untuk menjadi semakin sempurna, seluruh potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh sehingga membuat dirinya semakin manusiawi. Jika karakter seseorang berkembang dan semakin menjadi manusiawi berarti pribadi individu tersebut mampu berelasi dengan baik tidak hanya dengan dirinya namun juga dengan orang lain dan lingkungannya, tanpa harus kehilangan kebebasannya. Dengan demikian individu tersebut mampu membuat keputusan dan tindakan yang bertanggungjawab dan tidak mudah disetir oleh keadaan apapun atau terbawa oleh arus-arus negatif disekitarnya.
Maka dapat dikatakan pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik, sehingga peserta didik menjadi paham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

Pendidikan karakter merupakan sebuah proses panjang bahkan seumur hidup, maka hasil dari proses tersebut belum dapat dirasakan saat itu juga seperti membalikkan telapak tangan. Usaha tersebut melibatkan semua pihak pendidik (keluarga, sekolah,masyarakat, bahkan pemerintah).
Dalam buku yang sama Doni Koesoema menawarkan beberapa pokok ajar dalam pendidikan karakter, yaitu: 1) Menanamkan semua keutamaan hidup dalam diri kaum muda, 2)Mengajarkan kemampuan menilai tentang banyak hal yang baik dan yang buruk secara adil (bukan hanya sekedar menjauhi hal-hal yang buruk, menerima yang baik, mencela hal-hal yang jelek, memuji hal-hal baik). Dengan menilai secara adil maka anak akan memiliki pemahaman yang benar dan terbawa dalam tindakannya. 3) Mengajarkan sikap ugahari (sikap ugahari: kemampuan mengaktualkan dan memuaskan dorongan-dorongan keinginan dalam diri serta tuntutan insting secara tepat dan seimbang) misal: berkaitan dengan makanan, saat istirahat/tidur/bangun, tahu kapan bicara dan kapan diam. 4) Mengajarkan sikap keteguhan (cara-cara mengalahkan diri sendiri, tahan menanggung kesulitan dan rasa tidak enak, optimis, tidak mudah mengeluh. 5) Mengajarkan bersikap adil berkaitan hidup bersama orang lain sebagai bentuk penghargaan pada hak orang lain. 6)Mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan yang membutuhkan kerja keras. Menjalankan tugas dengan semangat, kesungguhan hati. Maka kerja keras, capai, lelah, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. 7) Mengajarkan kesiapsediaan melayani dan memikirkan orang lain. Kesadaran bahwa kita dilahirkan di dunia bukan semata-mata untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain.

Masih sangat terbuka akan nilai-nilai keutamaan lain yang dapat diajarkan dalam pendidikan karakter ini, namun hal yang sangat mendasar bahwa pendidikan karakter bukan hanya sebuah teori maka diandaikan selalu ada keteladanan. Bagaimana mungkin pendidik mengajarkan cinta dan kejujuran jika hal tersebut tidak dihayati.

Menjadi hal yang sangat penting bahwa penanaman keutamaan dalam pendidikan karakter ini dilaksanakan sejak usia dini. Pendidikan karakter menjadi usaha yang sangat serasi untuk menghidupi pendidikan agama dalam usahanya membantu peserta didik menjadi pribadi yang merdeka dan bertanggung jawab atas diri dan sekitarnya. Demikian juga sebaliknya, pendidikan karakter akan sangat terdukung dengan tumbuh di dalam pribadi remaja dengan pilar-pilar agama yang termuat dalam pendidikan agama.

Peran Pendidik
Menurut Doni Koesoema.A dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter memahami hakikat pendidikan dalam dua penekanan, yaitu: pertama,pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mendewasakan sekaligus mengembangan seluruh potensi pribadi manusia. Kedua,dalam pendidikan terjadi proses pembimbingan dimana terdapat dua relasi antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Berkaitan denga hal ini, J. Oei Tik Djoen, SJ seorang tokoh dan praktisi pendidikan, menekankan dalam setiap proses pendidikan, harus disadari dan dihormati penuh kebebasan setiap pribadi, karena kebebasan adalah anugerah dari Tuhan kepada setiap individu.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka setiap pendidik perlu mengembangkan cara pandang bahwa; pertama peserta didik adalah subyek penuh yang perlu dibantu mencari arah tanpa menutup rapat-rapat kemungkinan bagi peserta didik untuk membuat pilihan (karena kebebasan yang dimilikinya). Kedua, seorang pendidik bukan sekedar pengajar (penyampai materi pelajaran) namun sekaligus pendidik yang artinya membantu/menolong peserta didik menemukan arah hidupnya dengan menghormati kebebasan setiap pribadi. Dalam hal ini menolong peserta didik bukan berarti mengambil alih/mencarikan arah untuk selanjutnya peserta didik tinggal menjalani atau mengikuti. Ketiga, tindakan mendidik hanya terjadi pada manusia karena melibatkan seluruh kesadaran dan kebebasan individu pelaku sebagai subyek dan bukan hanya sebatas insting saja. Jadi proses pendidikan tidak dapat disamakan dengan aktivitas melatih binatang liar menjadi jinak dan sampai mampu melakukan/mengikuti semua perintah pelatihnya. Keempat, menilik pendapat Paulo Freire, seorang pendidik selayaknya menempatkan dirinya pada situasi subyek yang belajar sebelum memulai pembelajaran dengan harapan proses pendidikan akan lebih mengena dan sesuai, selain itu akan menghindarkan pendidik terjebak dalam mengajar dengan gaya ‘bank’. Pendidikan gaya bank mengandaikan murid menjadi ‘celengan’, guru pemberi informasi dan nasihat seolah-olah menabung informasi pada ‘celengan’ tersebut. Dalam kasus ini, guru menjadi sumber utama pencerita dan pengetahuan, sedangkan murid ‘nol’/ tidak tahu apa-apa.

Secara sederhana, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu peserta didik untuk mengembangkan diri dalam kesadaran dan kebebasan yang bertanggung jawab agar menjadi pribadi yang dewasa.

Penulis adalah seorang Pendidik di SMPN 15 Jogjakarta