23 Mei 2008

Guru Sahabat Siswa

Oleh : Sartana*

“berhentilah berdendang, bernyanyi dan
menghitung-hitung lokan ini !
Siapakah yang tuan puja di sudut kuil sunyi gelap ini,
sedang pintu tertutup pula ?
Bukalah mata tuan dan lihatlah,
Tuhan tuan tak ada di hadapan tuan,
Dimana petani meluku tanah yang keras,
di mana pembuat jalan memukul batu,
Di situlah Dia,
Bersama orang-orang ini Ia berpanas,
berhujan dan pakaianNya dilekati debu,
Tinggalkanlah pakaian sucimu dan
turunlah ke tanah yang berdebu itu,
Seperti Dia,
Kebebasan ? dimanakah terdapat kebebasan ?
Junjungan kita sendiri menerima dengan ria ikatan ciptaanNya,
Untuk selamanya Ia terikat pada kita,
Bangkitlah dari semedi dan
hentikanlah memakai bunga dan bau-bauan,
Meskipun pakaian tuan usang dan kotor, takutkan apa ?
Carilah Dia dan tolonglah Dia dalam bekerja,
Dengan keringat di kening tuan” (Rabindranat Tagore)

Menjadi sahabat murid adalah keinginan yang turut menyemangati saya untuk melakukan pembaharuan dalam pembelajaran agama. Siswa yang mempunyai latar belakang beragam, siswa yang kritis, siswa yang memberi harapan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, adalah alasan penting bagi saya untuk mengupayakan sebuah pembelajaran yang terbaik untuk mereka.
Sebagai seorang guru saya merasa lebih bangga memposisikan sebagai seorang sahabat bagi para siswa daripada seorang penguasa di kelas. Saya berfikir bagaimana mengupayakan sebuah kelas yang menyenangkan dan berbekas dalam proses pembentukan kepribadian anak-anak didik saya. Salah satu upaya membuat kelas yang menyenangkan adalah pembelajaran dengan proyek observasi ke lapangan atau terjun ke masyarakat khusus kelas.
Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dengan metode observasi lapangan ini, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga sebagai sumber belajar langsung, diantaranya adalah Panti Wreda Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta, Panti Wreda Hanna Surokarsan Yogyakarta, Departemen Hukum dan HAM Propinsi DIY beserta jajaran Lembaga Pemasyarakatan (LP) kelas IIA Wirogunan Yogyakarta, RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dengan laboratorium forensiknya dan Kantor Gubernur DIY. Melalui metode ini kami mempertemukan siswa dengan Wagub Sri Paku Alam IX belajar tentang budaya khususnya Jawa, bertemu dengan beberapa anggota masyarakat yang bergerak dibidang usaha pembuat batu nisan, mengunjungi para seniman dan seniwati untuk belajar tentang sovinisme budaya.
Untuk kelas 2 sekarang sudah upaya pengembangan dengan metode pendampingan masyarakat, khususnya pendampingan anak-anak sekolah di RW 01/RT01 kalurahan Kota Baru di sekitar lembah Code Utara. Kami membuat kerjasama dengan wilayah tersebut sebagai lingkungan binaan dari SMA BOPKRI 1 Yogyakarta.
Dalam mengupayakan terobosan pengembangan ini saya sadar harus ada pengorbanan lebih dulu, harus ada contoh pendampingan lebih dulu. Di luar itu semua, adalah sebuah pilihan non konvensional di mana sebagai guru saya melepaskan diri dari keterikatan dengan kurikulum dan beban-beban administratif yang menyertainya. Pilihan ini tentu menimbulkan pertentangan, bahkan kecaman dari lingkungan kerja. Terutama karena di sebuah sekolah Kristen sebagai guru agama saya tidak mengajarkan agama Kristen tetapi nilai-nilai universal yang ada dalam agama-agama. Lebih baik saya membebaskan anak-didik saya dari kotak-kotak primordial mereka untuk mampu mendialogkan nilai-nilai agama dengan realitas hidup konkret mereka. Bagi saya hal ini lebih dibutuhkan sebagai bekal mereka di masa datang.
Buah dari upaya ini adalah perkembangan anak-anak yang saya dampingi melesat jauh, karena belajar langsung dari masyarakat dengan kekuatan mereka sendiri. Hal istimewa yang saya dapatkan dari kehendak untuk menjadi sahabat para siswa adalah semua anak yang saya dampingi mengenal, menyapa dan menghormati saya sebagai sahabat dalam belajar. Saya juga mengenal anak-anak yang saya dampingi satu persatu dengan baik. Jadi hubungan intrapersonal terasah dengan baik. Di sini lah kami mendapatkan satu tempat untuk bisa berkembang bersama. Bukankah ini juga bagian dari pendidikan yang sangat penting?

Thinking Smart
Ungkapan ini terucap dari siswa kelas XI IPS 2 ketika berhasil mempresentasikan hasil observasi di lembah Code, Utara Kota Baru Yogyakarta. Ungkapan ini terkait hasil observasi yang ternyata juga dipakai untuk laporan pengabdian masyarakat, karena kelas XI ada kegiatan wajib pengabdian masyarakat maka dengaan demikian kelas XI IPS 2 sudah selesai dan tinggal melaporkan saja kegiatan tersebut dalam bentuk buku laporan lengkap dengan dokumentasinya. Thinking smart, berpikir cerdas, satu kali melangkah beberapa tujuan dan kepentingan tercapai. Senang rasanya memiliki siswa yang cepat sekali belajar dari pengalaman keadaan dirinya beserta sumber belajarnya. Para siswa bukan hanya memahami bagaimana situasi masyarakat dan bagaimana terlibat mendampingi mereka, tetapi lebih dari itu adalah belajar bagaimana mengelola kesempatan dan fasilitas yang ada dalam aktivitas pendampingan.

Religion Have Fun
Meski bukan mata pelajaran yang dianggap keren, tidak diujikan, namun penting untuk dipikirkan bagaimana pelakaran yang saya ampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika ada siswa kelas XA, kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang melontarkan pelajaran religiositas sebagai religion have fun adalah ungkapan spontan yang membanggakan. Siswa ini melihat dan menikmati proses pembelajarannya dan sangat bersukacita ketika berhasil mempresentasikan hasil observasinya tentang penjaga kamar mayat RSUP dr. Sardjito Yogyakarta bersama timnya. Mereka memperoleh pengajaran yang mengesankan, bahwa seluruh karya, pekerjaan dan hidup manusia itu ternyata harus dipertanggungjawabkan.
Perkenalan dengan orang dari berbagai profesi yang umumnya tidak diperhitungkan, yang pluralis, beriman dan nasionalis membuka kesadaran tentang apa makna pekerjaan dan pertanggungjawaban dalam hidup. Suatu kesadaran yang sungguh mencerahkan bagi anak-anak jaman sekarang yang umumnya hanya mengkonsumsi pembelajaran yang instant. Maka mata pelajaran yang dikelola dengan metode ini menjadi sesuatu yang menggairahkan dan membahagiakan.

Refreshing Class
Kalimat ini muncul dari siswa-siswa yang saya dampingi, saya melihat gairahnya dalam belajar di kelas religiositas, pelajaran lain yang sangat berat dan menumpuk tugasnya juga tanggungjawab yang tidak ringan, ternyata masih ada kelas bisa untuk refreshing, senang melihat mereka para siswa bisa menikmati proses pembelajarannya di kelas religiositas. Saya bisa merasakan bagaimana beban kurikulum yang sedemikian berat dan melelahkan. Biarlah mereka menikmati ‘refreshing-nya’ pembelajaran religiositas. “Refreshing class”, muncul tanpa saya minta untuk diucapkan, kalimat dan kata itu keluar dari hati mereka, tulus dan polos. Dengan itu semua saya bahagia marem, karena mempunyai harapan bahwa apa yang saya lakukan kini ada dampaknya di masa datang bagi kehidupan pribadi siswa maupun masyarakat.

* SARTANA Pendidik di SMA BOPKRI 1 Jogjakarta