27 Agustus 2008

Ahimsa – Emoh Kekerasan

Salah satu praktik kekerasan yang sangat penting diperhatikan guru adalah kekerasan terhadap anak (KTA). Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, dalam artikelnya (KOMPAS, 23/7/08) menyebutkan data KPAI tahun 2007 yang dianalisis dari 19 surat kabar yang memperlihatkan 11,3 persen kekerasan terhadap anak dilakukan oleh guru (atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan orang-orang di sekitar anak yang mencapai 18 persen). Pada tahun 2008, kekerasan Guru terhadap anak mengalami peningkatan 39,6 persen dari 95 kasus KTA atau jumlah tertinggi dibanding pelaku kekerasan terhadap anak yang lain. Kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak ini belum termasuk kekerasan psikologis berupa perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional.Sementara itu kita sangat memahami bahwa setiap bentuk kekerasan akan menghasilkan kekerasan yang lain bila tidak segera kita putus lingkaran kekerasan ini.

Emoh Kekerasan dan Kasih Sayang
Ajaran emoh kekerasan (ahimsa, non violence) ada dalam semua agama. Emoh kekerasan adalah juga terjemahan kasih sayang yang dinamis. Emoh kekeraan kurang lebih adalah sikap menjaga diri untuk tidak melukai atau merusak apa pun bentuk hidup mahluk ciptaan Tuhan. Penjabarannya adalah emoh melukai atau merusak perasaan, kehormatan, martabat serta kemerdekaan orang lain dan menghindari diri dari sikap yang langsung-atau tidak langsung menghalangi tumbuh kembang mahluk lain yang berguna bagi harmoni semesta dalam waktu kini atau di kemudian hari. Kasih sayang yang tumbuh dari kesadaran syukur dan merawat kehidupan yang memungkinkan orang selalu sadar dan waspada untuk emoh kekerasan.
Dalam agama Hindu umat diajarkan dengan sangat serius tentang tatwam asi: kamu adalah aku, aku adalah kamu. Penafsiran dari ajaran ini kurang lebih adalah apa dan bagaimana yang kita lakukan terhadap yang lain pada dasarnya adalah dilakukan juga untuk diri kita sendiri. Umat Kristiani memahami secara mendalam apa yang dikatakan Yesus ketika menjawab pertanyaan orang-orang Saduki dalam Injil Matheus 22:28-34, “Hukum manakah yang paling utama?”Yesus menjawab: “ Hukum yang terutama ialah, dengarlah hai orang-orang Israil, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum kedua adalah kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri. Tidak ada lagi hukum yang lebih utama dari pada kedua hukum ini”. Sementara itu umat Islam sangat akrab dengan ajaran hadits nabi Muhammad “Tidak dianggap beriman seseorang hingga ia mencitai saudaranya sesama manusia sebagaimana mencintai dirinya sendiri (HR.Bukhari dan Muslim). Kasih sayang itu sendiri adalah ajaran dasar setiap agama, wujud dari rasa syukur atas kehidupan yang diselenggarakan oleh Tuhan yang maha Pengasih dan Penyayang.
Namun saat ini bicara emoh kekerasan menjadi sebuah perjuangan. Televisi yang setiap hari menjadi candu dan kiblat hampir setiap orang, hampir tidak absen mempertontonkan kekerasan. Para wakil rakyat dan tokoh masyarakat juga tidak sungkan mempertontonkan kata-kata atau sikap kekerasan terhadap orang atau kelompok yang tidak disukai dengan hujatan atau menebar gosip yang mencederai martabat orang lain. Para pemimpin kita juga tega membiarkan ada warga Negara yang dianiaya bahkan diusir dari rumahnya karena mempunyai keyakinan berbeda dari orang kebanyakan.
Bagaiamana situasi di sekolah-sekolah kita? Bagaimana sikap rekan-rekan guru ketika menghadapi anak-anak yang tertekan oleh situasi di rumah? Bagaimana menghadapi anak-anak yang mempunyai kemampuan atau karakter berbeda dari pada umumnya anak? Bagaimana menemani anak-anak yang tertipu oleh terror iklan televisi? Saatnya kita lebih pro-aktif untuk waspada emoh kekerasan.

Akar Kekerasan pada Hasrat Berkuasa
Untuk mewujudkan dua hal ini dapat ditelusuri pada akar satu, yaitu hasrat –kuasa-menguasai atau ego atau hawa nafsu yang tak terkendali. Hasrat ini sesungguhnya akan terkendali kesanggupan untuk kritis pada diri sendiri, introspeksi terus menerus sehingga mampu keluar dari jebakan yang ada dalam diri kita sendiri. Kesanggupan ini akan diperkuat oleh tali ketulusan mengabdi pada upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pengendalian yang hanya mungkin ketika ada orentasi atau tujuan hidup yang jelas, bahwa pada akhirnya segala sesuatu kembali pada Sang asal kehidupan. Segalanya yang dilakukan dalam mengisi saat hidup perlu diberi kerangka pengabdian pada Nya.
Untuk mengenali hasrat berkuasa, ego atau hawa nafsu ini, bisa dicermati dari keinginan-keinginan, kekhawatiran atau ketakutan, rasa marah dan cemburu, serta dalam persepsi diri kita tentang diri sendiri, persepsi pada orang lain maupun kehidupan secara umum. Hasrat berkuasa yang menguasai diri manusia, membuat ia melihat dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Dalam keadaan ini seolah apa yang dipikir, apa yang dilihat, dirasa dan diinginkan oleh yang bersangkutan adalah kebenaran yang harus dipenuhi. Hilang pertimbangan bahwa apa pun pilihan tindakan yang diambil selama dalam hidup harus diuji dengan pertanyaan apakah hal itu baik untuk semua (bukan hanya sesama manusia, tetapi mahluk hidup yang lain)?, apakah tidak ada pihak yang dirugikan, atau dipinggirkan sehingga tidak bisa berkembang secara wajar?.
Hasrat berkuasa, ego atau hawa nafsu yang mendominasi seseorang pada akhirnya menyebabkan yang bersangkutan tidak melihat ada kebenaran juga di luar sana dan sebaliknya tidak ada kerendahan hati untuksadar diri sebagai mahluk yang serba terbatas, menyadari serta mencermati kekurangan diri atau mengkritisi diri. Sulit sekali untuk menemukan celah borok misalnya sadar bahwa yang menggerakkan pikiran, kehendak dan seluruh pilihan tindakan adalah keinginan-keinginan diri pribadi yang tak terhingga, hasrat untuk memperkuat diri sendiri, bukan untuk kebaikan bersama. Padahal pilihan tindakan yang dikuaai hawa nafsu inilah yang sangat rawan mengahsilkan sikap kekerasan, entah kekerasan psikis, ekonomi, fisik maupun simbolik.
Sebaliknya, ketika kekerasan dibiarkan menggejala, maka dengan sendirinya akan cepat tumbuh dan berkembang hingga menjadi sesuatu yang seolah-olah biasa dan tidak lagi mengusik kesadaran sebagai sesuatu yang bisa merusak. Misalnya A seorang yang menginginkan jabatan sebagai pengawas pendidikan atau menjadi ketua sebuah organisasi. A sebenarnya tahu dia kemampuannya pas-pasan, tapi dia juga tidak yakin dengan kemampuan orang lain. A menginginkan jabatan itu karena menurutnya jabatan itu akan membuatnya lebih dihormati dan membuat dia bisa sedikit atau banyak membuat orang lain bisa mengikuti jalan pikiran dan ‘petunjuk sesuai seleranya’. Tentu saja dalam jabatan itu ada tambahan penghasilan yang bisa membuat dia bisa membeli barang-barang yang menunjang penampilan untuk dihormati dan mewujudkan kesenangan hidup lain. Tapi ternyata untuk mendapatkan posisi yang diinginkan ada orang lain yang disenangi banyak orang dan punya riwayat pendidikan serta pengalaman lebih baik. Demi mewujudkan keinginannya si A mengedarkan tulisan-tulisan yang membuat pencitraan buruk terhadap saingannya atau menggunakan sentimen kelompok dengan memanipulasi seolah jabatan itu adalah kepentingan bersama dalam kelompoknya. Apa yang mendorong A tega membuat pencitraan buruk tentang orang lain?
Cerita sederhana ini sering muncul dalam sejarah perpolitikan dari tingkat desa hingga nasional. Namun inilah kekerasan simbolis yang sudah dianggap ‘biasa’. Menjadi biasa karena makin banyak orang yang ingin jadi pemimpin, semata-mata karena keinginan untuk berkuasa, bukan keinginan untuk mengabdi pada masyarakat. Kejadian seperti dalam gambaran di atas berlalu begitu saja tanpa ada koreksi dan tuntutan perminaan maaf atau sanksi atas tindakan yang tidak pantas tersebut, sehingga berulang dan berulang. Situasi inilah yang memungkinkan tampilnya pemipin yang pada masa lalunya mempunyai sejarah kekerasan yang sulit diharapkan menghadirkan iklim yang emoh kekerasan.
Contoh lain adalah orang tua atau guru yang menginginkan anak atau anak didiknya hebat. Hasrat atau ambisi yang dtimpakan pada anak-anak kadang tidak disadari oleh para orang dewasa ini telah menorehkan luka di hati anak-anak. Masa kanak-kakak yang wajarnya dipenuhi dengan bermain untuk belajar atau belajar sambil bermain dan pengenalan pada lingkungan untuk belajar menjalin relasi-relasi dengan baik, habis untuk bermacam-macam tuntutan ambisi orang dewasa di sekitarnya, seolah anak-anak ini adalah manusia-manusia kecil yang hanya bisa menurut dan tidak mempunyai keinginan serta persoalan pribadi. Karena bukan keinginan pribadi anak, les dan kursus yang diikuti kadang tidak menambah kepintarannya. Para orang dewasa ini stres oleh ambisinya sendiri dan menjadi mudah emosi. Dan anak-anak ini menjadi sasaran kemarahan yang adakalanya berlebihan dan tidak terkendali, menimpakan awal sebuah dunia yang muram.

Memutus Lingkaran kekerasan
Seorang yang sejarahnya dibesarkan dalam kekerasan, bila ada peluang dia akan melakukan hal yang sama pada orang lain, karena dalam bawah sadarnya merekam kekerasan sebagai sesuatu yang bisa dilakukan pada orang lain. Demi memutus lingkaran kekerasan, Mahatma Gandhi bahkan membiarkan diri dan kelompoknya digebuk bertubi-tubi oleh polisi kolonial Inggris, demi menghidari saling balas terus-menerus dan korban lebih banyak. Di sini emoh kekerasan menjadi bukti kekuatan mengendalikan diri dan kearifan. Dan semua berangkat dari diri kita sendiri. Tepat kiranya yang ditulis oleh Anand Krisna pada Radar Bali, Senin 30/6/2008:
“Jadikan pengendalian diri sebagai tujuan hidupmu, sebagai jihadmu…Bersungguih-sungguhlah untuk mengupayakan hal itu- maka kemenangan akan mencium kakimu. Maka kau akan meraih kesempurnaan dalam hidup ini. Jadikan pengendalian diri sebagai kebiasaan, maka kau akan terbebas dari perangkap dunia yang ilusif ini. Dunia yang saat ini ada dan sesaat kemudian tidak ada” (Redaksi)