Catatan lepas Pertemuan Forum Komunikasi Guru-Guru Agama - Bulan Oktober & Nopember 2007
Oleh:
purwono nugroho adhi
praktisi kerja budaya
katekis@yahoo.com
Tantangan yang menghadang
Modernitas zaman yang bergerak dengan langkah angkuh telah meninggalkan jejaknya yang membekas pada kegalauan dan disorientasi. Ketika ruang-ruang makna mulai bergeser pada wacana dan kesadaran yang bersifat praktis, dangkal dan ambivalen, mulailah orang bingung. Tampak wajah muda mulai cemas dihimpit kegalauan, ketika tiada lagi apa yang diacu. Dirinya hanya mampu bersandar pada wajah-wajah entertaining yang hanya menyediakan seklumit kata-kata kesenangan. Ketika pulang pun, mereka hanya bertemu dengan jalan-jalan yang dihiasi toko kelontong besar dan pancaran temaram lampu rave party. Seklumit kecemasan itu telah menusuk kedalam kalbu seorang ibu yang kesehariannya mengajar agama di SMA PIRI, dan tentu saja pada beberapa orang lainnya.
Pertanyaan kecil terkata dari bibirnya, "bagaimana sumbangan pendidikan agama menghadapi kecemasan ini,". Tentu saja, pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Ya, memang banyak cara yang perlu dikembangkan, salah satunya, bagaimana mengenalkan pengalaman hidup di seputar kaum muda untuk mengajak mereka memahami makna yang lebih mendalam. Tantangan zaman ini begitu besar, tidak sepantasnya pendidikan agama yang berorientasi pada nilai moralitas dan imani hanya memberikan dalil-dalil jawaban seperti layaknya ilmu eksakta. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajak kaum muda menemukan secara mandiri hidup mereka dengan persoalan yang tengah dihadapi, dengan pengalaman hidupnya dengan nilai-nilai agama.
Tantangan zaman telah merajut kekuatannya dengan segala media yang ada, dari cyber, televisi dan berbagai rajutan pola yang membentuk cara pandang orang muda. Tentu saja, hal ini juga menjadi tantangan bagi beberapa guru agama yang ada dipinggiran kota, seperti Bantul. Banyak cara yang dicoba diupayakan, tidak hanya di kota besar saja, karena rajutan media yang begitu menggurita telah membentuk cara baru dalam memandang. Memang, modernitas zaman jangan hanya dilihat sebagai yang negatif saja, karena zaman kaum muda tentu saja berbeda juga dengan zamannya para buyut mereka, ya atau para guru agama mereka. Maka, pengaruh modernitas perlulah dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman yang tidak dapat diatasi atau dimanfaatkan.
Tantangan modernitas apakah perlu diselami oleh guru agama zaman sekarang, hingga mereka harus melebur untuk mampu menyapa kaum muda. Itulah secarik pertanyaan yang dilematis. Tentu saja, bukan ngintir tetapi harus mampu "berenang" dalam riakan gelombang itu, hingga dengan jenaka, ada yang nyentil, " wah, guru agama apakah juga ikut mendem dulu agar mampu menyapa kaum muda?". Ya, tentu saja, yang paling penting guru agama harus mampu menyapa secara mendalam setiap pribadi yang unik sifatnya, dan banyak hal alternatif dan kreatifitas yang dapat dibuat.
Merangkai rajutan Pendidikan Agama yang progresif
Kaum muda merupakan "subyek" kajian yang begitu menarik. Menariknya, karena kaum muda mempunyai dunia yang khas, sarat dengan berbagai dinamika dan ruang kreatifitas yang beragam dan kompleks. Mareka bergerak dengan warna yang cerah, jiwa serta imaginasi yang begitu bebas dan sarat akan perubahan.
Mereka lahir dari dunia yang selalu membaca dengan mata pareto, apapun mereka baca dengan kata "lawan" , "cari yang lain daripada yang lain", "pilihlah warna yang kontras", dan lain sebagainya, yang penting "lain". Mata mereka yang pareto membuat mereka "tidak akan pernah jenak" dengan rutinitas dan konservatisme. Hal itulah yang membawa mereka bergerak menekan tombol religious doubt di kepala mereka, yaitu demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional menjadi ikon mereka.
Untuk itu, seorang guru agama dari SMA BOPKRI I mencoba mengayunkan langkahnya untuk membuat suatu yang berbeda mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman, seperti apa yang dilakukan di SMA PIRI, dicoba diterapkannya dengan gagasan yang kreatif, hingga seringnya ia dicap "ateis", karena dinilai "kebablasan" dalam mengemas pendidikan agama. Namun, gayung progresifitas pasti bersambut, ketika disadari, bahwa guru harus merdeka dari tekanan dan penjara sistem pendidikan yang konvensional agar selalu dapat memperkembangkan visinya.
Pendidikan agama hendaknya dimulai dari apa yang selalu menjadi pertanyaan eksistensial hidup. Kaum muda perlu disapa dari apa yang paling ultim dari dirinya, pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dari hidup mereka yang berwarna-warni itu. Untuk itu, seorang pastur Jesuit dari Sanata Dharma, mencoba membagikan sebuah pendekatan yang bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan agama, yaitu pendekatan psikologis pendampingan pengembangan diri.
Pendidikan agama yang mampu menyapa hati kaum muda secara mendasar itulah yang diusahakan. Harapannya, segala pertanyaan soal hidup yang selalu menjadi muara dalil-dalil agama tidak hanya dibingkai secara formalistik, tetapi sungguh dimulai dari kerinduan yang paling ultim dari setiap individu. Sehingga diharapkan pendidikan agama perlu mencari pendekatan-pendekatan yang progresif dan kreatif agar menjadi salah satu ruang bagi kaum muda memandang, melihat merefleksikan dan bertindak atas hidup mereka.
Sehingga pertanyaan dari seorang aktivis Dian Interfidei, sebarapa jauh kaum muda mampu secara konsisten, dewasa dan utuh mempunyai nilai-nilai yang diacu untuk hidupnya yang penuh tantangan oleh disorioentasi nilai di zaman sekarang ini dapat mereka temukan dari sebuah jalan kecil pendidikan agama, sebuah jalan kecil bermula dari kegelisahan forum guru-guru agama di Yogyakarta ini. Tentu, forum ini perlu terus belajar untuk merajut pemikiran-pemikiran progresif bagi secarik catatan kecil dari sebuah peta besar pendidikan di Indonesia, secara khusus pendidikan agama.
Bravo, guru-guru agama, ditanganmulah,
ada langkah kecil untuk mengenalkan langit di kaki dunia yang galau ini
bagi insan muda yang memegang tongkat estafet
masa depan Indonesia
ada langkah kecil untuk mengenalkan langit di kaki dunia yang galau ini
bagi insan muda yang memegang tongkat estafet
masa depan Indonesia