11 Juni 2008

PLURALISME, KONFLIK DAN PERDAMAIAN (*)

Oleh: AA.GN. Ari Dwipayana**

Pengantar
Pada beberapa tahun belakangan ini bukan hanya terjadi gelombang demokratisasi secara global, melainkan juga kebangkitan nasionalisme dan munculnya kembali konflik etnik (1). Setidaknya hal tersebut diwartakan secara terang benderang oleh Samuel P Huntington ketika menulis sebuah buku yang diberi judul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order pada tahun 1996. Secara gamblang buku tersebut mengkisahkah transformasi pola konflik yang terjadi di politik domestik maupun global setelah perang dingin usai, dari konflik yang bersumber pada ideologi menjadi konflik politik yang berbasiskan identitas. Lebih jauh Samuel P Huntington membaca bahwasanya politik global akan ditandai oleh politics of civilitation sedangkan politik domestik adalah politics of ethnicity (2). Dalam politik identitas, pertanyaan yang paling penting adalah who are we ? Sehingga, berbagai komunitas dalam masyarakat akan merumuskan diri mereka sendiri dalam tema-tema kultural seperti kesamaan agama, bahasa, sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga.
Dalam penguatan kembali politik identitas itu, nasionalisme dan konflik etnik seringkali lebih dipandang sebagai fenomena milik dunia ketiga. Asia dan terutama Afrika mengalami kekerasan etnik berkadar tinggi selama masa perang dingin. Menurut perkiraan kasar, paling tidak setengah dari negara-negara Sub Sahara Afrika- termasuk Angola, Mozambiq, Rawanda, Burundi, Zaire, Uganda, Ethiopia, Somalia, Suda, Chad, Nigeria, Liberia, Zimbabwe dan Afrika Selatan- semnjak kemerdekaannya telah mengalami perangs audara maupun matinya ribuan orang karena kekejaman yang dilandasi yang dilandasi pengelompokan etnis atau ras. Korban jiwa akibat kegagalan mengelola politik etnsitas sungguh sangat mengerikan; setengah juta orang mati dan sebelas juta orang mengungsi akibat pembagian anak benua India pada tahun 1947; diperkirakan satu juta orang mati selama perang saudara di Negeria (1967-1970); ratusan ribu orang tewas selama teror etnik dan teror politik Idi Amin Dada (1971-1979); puluhan ribu orang tewas dan 600.000 orang terlantar selam satu dasawarsa perang saudara yangs ampai sekarang masih berlangsung di Srilangka dan diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi akibat peperangan di negara bekas Yugoslavia, lebih dari seratus ribu orang tewas dan setengah juta orang mengungsi akibat meletusnya peperangan di Rwanda pada tahun 1994 antara kelompok mayoritas Hutu dan kelompok minoritas Tutsi yang pernah menguasai kaum feodal. Bahkan berakhirnya perang dingin, era mundurnya ideologi seperti ditulis oleh Daniel Bell bukan berarti meredanya representasi kekerasan etnik dalam politik domestik.
Dalam konteks kekinian, dengan munculnya gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia, konflik etnik sekali lagi dianggap sebagai sebuah hambatan utama bagi demokratisasi yang berhasil. Atas dasar sejumlah alasan, Horowitz bahkan berani mengatakan bahwa keetnikan merupakan tipe perpecahan yang paling sulit dikelola oleh demokrasi. Karena etnisitas menyentuh persolan budaya dan bersifat simbolik- yakni ide dasar tentang identitas dan kepribadian, serta penghargaan dan penamaan individu dan kelompok- maka konflik yang ditimbulkannya secara intrinsik kurang dapat dikompromikan dibandingkan dengan konflik yang berkenaan dengan persoalan materi (3). Kegagalan untuk mengelola keetnikan ini justru berakhir pada kekerasan yang merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Dengan demikian kekerasan etnik yang muncul di pelbagai negara di Asia dan Afrika justru membahayakan proses konsolidasi demokrasi paska kolonial yang sedang dijalankan di negara-negara tersebut. Rezim demokrasi konstitusional di Srilangka, Libanon dan Nigeria telah dihancurkan atau ‘dicabik-cabik’ oleh konflik etnik yang mengakibatkan perang saudara. Di belahan Afrika lainnya, tuntutan untuk membangun bangsa dan mempersatukan negara-negara yang memiliki keragaman etnik seringkali dikenalkan sebagai dasar pembenar untuk memberlakuan pemerintahan otoriter-militeristik (seperti terjadi di Kenya), atau sebagai legitimasi untuk membatasi kebebasan sipil dan kebebasan politik (dalam kasus di Malaysia dan Singapura) (4).
Perbincangan mengenai hubungan antara konflik etnik (dalam arti luas termasuk di dalamnya konflik komunitas agama) dengan demokrasi, membawa pada serangkaian pertanyaan yang merupakan pergulatan fundamental yang dihadapi oleh setiap negara bangsa (nation state) modern, bagaimanakah identitas kelompok yang khas dan bahkan antagonistis dapat didamaikan dengan misi negara bangsa ? Lebih khusus lagi, bagaimanakan perdamaian itu dapat diwujudkan dalam sebuah negara yang demokratis ? Dapatkah kemajemukan etnik dan demokrasi didamaikan? Jika dapat, bagiaman cara mendamaikannya ?
Menurut pendapat saya, dilema nation state modern itu hanya bisa terpecahkan apabila kita mempunyai pemahaman yang mencukupi mengenai gejala kebangkitan politik identitas dan kekerasan ‘etnik’ (agama). Tanpa pemahaman awal tentang itu, maka analisa akan lebih banyak terjebak pada jawaban-jawaban yang bersifat spekulatif, reduksionis dan deterministik. Mengapa kekerasan ? Jawabannya sangat sederhana karena kekerasan merupakan bentuk konflik yang negatif (destruktif). Dengan munculnya kekerasan berarti konflik belum atau bahkan tidak bisa dikelola dengan baik. Dan itu berarti mekanisme dan instrumen untuk mengelola konflik, seperti format demokrasi, atau bahkan bangun nation state, masih perlu dipertanyakan. Oleh karena itu, tulisan ini akan lebih memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa kebangkitan politik identitas dan semakin luasnya jumlah dan intensitas kekerasan politik yang menggunakan sentimen Agama. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam tulisan ini: Pertama, bagaimana karakteristik tindak kekerasan yang menggunakan sentimen-sentimen agama ? Kedua, mengapa tindak kekerasan berbasisikan agama terjadi? Apa saja kondisi-kondisi yang menjadi latar belakang tindak kekerasan agama ? Dan terakhir mengapa kondisi-kondisi itu muncul ?
Kekerasan ‘Komunitas’ Agama di Indonesia
Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik identitas terasa semakin terang benderang terutama sejak kejatuhan rejim Soeharto pada bulan Mei 1998. Setidaknya, bangkitnya kembali politics of identity ini terlihat dari munculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Papua dan Kupang. Kedua, terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama, seperti yang terjadi pada peristiwa Ketapang, Mataram, Kupang, serta Maluku.
Ada beberapa bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia. Pertama, kekerasan fisik seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan Mesjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun terbunuh. Bentuk kekerasan yang kedua adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernada melecehkan sesuatu agama.
Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa berasal dari setiap kelompok agama di Indonesia. Namun, belajar dari kasus-kasus yang muncul di Ketapang, Maluku, Poso, Mataram serta Kupang maka bisa ditemukan sebuah kecenderungan bahwasanya sebagian besar kekerasan politik agama yang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan komunitas Kristen. Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan Kristen teridentifikasi melalui ikat kepala dan identitas nama kelompok yang bertikai anatara kelompok merah (obet) dan kelompok putih (acang).
Dari data statistik, Kabupaten/ Kota yang menjadi ajang pengrusakan Mesjid dan gereja, dapat dilihat bahwa pengrusakan gereja terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Islamnya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Kristennya melebihi laju pertumbuhan umat Islam di daerah tersebut. Sebaliknya pengruskan Mesjid terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Kristennya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Islamnya melebihi laju pertumbuhan umat Kristen di daerah tersebut. Misalnya di Kupang, prosentase umat Islam : Katolik: Protestan ialah 6,7 : 11,47 : 80,79. Laju pertumbuhan umat Islam : Katolik: Protestan ialah 9,18 : 6,53: -0,89. Laju pertumbuhan penduduk Kupang adalah 0,58. Namun ada juga kecenderungan konflik antar komunitas agama yang akhirnya bermuara pada kekerasan terjadi di daerah-daerah yang mempunyai komposisi agama secara demografis berimbang.
Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945-1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam (5).
Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998) tercatat tidak kurang dari 456 gereja dirusak, ditutup maupun diresolusi. Perusakan gereja yang terjadi setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1996 sampai dengan akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi.
Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01 %) dirusak, dibakar dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45 %), tahun 1998 tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26 %) dan tahun 2000 tercatat 53 gereja (11,2%).
Berdasarkan tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia meliputi 76 Kabupaten/ Kota. Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak terjadi di Jawa (273 gereja/ 57,72 %) dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja/ 42,28 %). Pengrusakan gereja lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52 %) dibandingkan kota pedalaman (182 gereja/ 38,48 %)
Denominasi gereja dibedakan atas Protestan, Pantekosta dan Katolik. Dari 473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74 %), Pantekosta (179 gereja/ 37,84 %) dan Katolik ( 54 gereja/ 11,42 %). Apabila dibedakan menjadi Jawa dan luar Jawa maka komposisi pengrusakan di Jawa ialah Protestan (23 %), Pantekosta (28,75 %) dan Katolik (27 %). Sedangkan di luar Jawa, Protestan (27,48 %), Pantekosta (9,09 %) dan Katolik (5,71 %).
Berdasarkan jenis kekerasan yang dilakukan dari 473 gereja tercatat 446 gereja (94,29 %) mengalami kekerasan fisik dan 27 gereja yang mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik lebih banyak terjadi di Jawa (25 gereja) dibandingkan dengan di luar Jawa (2 gereja).

Mengapa Tindak Kekerasan Politik Agama Terjadi ?
Salah satu eksplanasi yang menarik diberikan oleh pendekatan psikologis, yang berasumsi bahwa semua fenomena politik, termasuk tindak kekerasan politik agama, bermula dari pikiran manusia. Berdasarkan asumsi tersebut upaya menemukan penyebab dasar kekerasan politik dipusatkan pada faktor psikologis yaitu perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan. Secara ringkas, argumennya adalah bahwa kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi (Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan berdasarkan agama.
Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah kerusuhan yang timbul di Ketapang, Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan material? Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teorisasi tentang “Religious-nationalism” yang para pendukung terbagi dua aliran. Para teorisasi Religious nationalism yang beraliran Primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, seperti ungkapan kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious –nationalism yang beraliran situasionalist-instrumentalist menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta ancaman terhadap eksistensinya. Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.
Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly (1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang berubah. Dengan kata lain, kekerasan politik terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan politik merupakan hasil kalkulasi politik.
Berdasarkan alur pemikiran di atas dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu pertama, kelompok teoritisi yang berpendapat bahwa tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu kedua, para pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategi dan keputusan taktis.
Untuk memberi jembatan teoritik terhadap dua kubu tersebut, kita bisa kembali pada pendapat Theda Scokpol, ketika Scokpol melakukan penelitian tentang revolusi yang bisa gunakan untuk analisis tentang kelompok etnik dan komunal yang aktif dalam politik. Menurut Scokpol, mobilisasi politik akan ditentukan oleh dua faktor yakni Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi bagi munculnya kekerasan kolektif.
Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik. Perasaan frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan tidak akan menimbulkan tindak kekerasan politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan komunitasnya.

Latar Belakang Kondisi-kondisi Pemicu
Ketika argumen teoritis bahwa tindak kekerasan dimulai dengan adanya faktor yang melatar belakangi mobilisasi politik maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ?
Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu. Pertama, seberapa parah tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar besar perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan kolektif.
Kedua, ketegasan identitas dan kohesi kelompok. Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian, perumusan simbol-simbol bersama dan upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka semakin besar potensi untuk terjadinya konflik.
Salah satu pemicu penguatan frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A. Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, struktur okupasi (pekerjaan) melekat pada agama dan etnis tertentu.
Dengan demikian struktur ekonomi dan peta demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan identitas. Kasus tragedi Maluku merupakan cotoh yang gambang tentang hal ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial terbangun dalam pemilahan sosial yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim.
Sejak Orde Baru, terjadi perubahan konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi. Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik serta menguasai sektor ekonomi.
Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser” dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti yang disampaikan dalam data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan sekularisme modernisme. Identitas teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok komunal memobilisasi komunitasnya untuk melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi.

Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk
Walaupun secara gamblang tulisan ini berpihak pada pendapat yang mengatakan bahwa konflik agama bukan konflik identitas an sich, dengan memperhatikan perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan lain-lainnya, tetapi ada beberap hal yang turut menjadi perhatian dalam tulisan ini teruatama dari argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian. Bahwa, konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen apakah yang membuat demokrasi bisa bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di Italia maka modal sosial (social capital) justru menjadi elemen yang penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam masyarakat (6). Dalam konsepsi Putnam, modal sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi horisontal antar warga yang di dalamnya terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma-norma terkait yang mempunyai pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas. Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi dan warga dalam komunitas maka semakin tinggi warga mempunyai kemampuan dalam menerapkan demokrasi.
Modal sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community). Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan, keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan mempercayai (mutual trust) satu sama lainnya.
Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan mutual trust yang sempat goyah akibat pertikaian antar komunitas Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa usaha yang bisa dibangun untuk menrintis kembali mutual trust antar komunitas Agama; pertama, mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah (7). Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua, mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka dan stereotype (8). Ketiga, mutual trust akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.
Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik melalui institusi tradisional seperti adat (Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan kepentingan publik lainnya. Pelembagaan konflik melalui institusi –institusi sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami krisis legitimasi dan kredibilitasnya. Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar yang dibentuk berdasarkan agama. Dari mana resolusi konflik harus di mulai ?
_______


Referensi:
  • Perilaku kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penelitian oleh P3PK-UGM bekerjasama dengan Departemen Agama, 1997.
  • Thomas Santoso, Potret Kekerasan Politik- Agama dalam Era Reformasi, Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.
  • Theda Scokpol, Negara dan Revolusi Sosial, Penerbit Erlangga, 1991.
  • Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, Simon & Scuster, New York, 1996.
Catatan kaki:
  1. (*) Disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam Seminar Sehari “Pluralisme, Konflik dan Perdamaian”, yang diselenggarakan oleh Interfidie di Bengkulu, 6 September 2001.
  2. **Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM Yogyakarta dan Peneliti di Instititute for Reasearch and Empowerment (IRE) Yogyakarta.
  3. (1) Dalam bukunya yang berjudul “Ethnic Group in Conflict” (1985), Donald Horowitz menggunakan istilah etnik untuk menunjukan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif bersakala besar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal-usul, keanggotaan yang berdasarkan atas kekerabatan dan secara khusus menunjukan kadar kekhasan budaya. Dengan pemahaman semacam itu, maka etnik dengan mudah mencakup kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Etnik juga mencakup suku bangsa, ras, kebangsaan, dan kasta. Lebih jauh Horowitz mengatkan bahwa meskipun sifatnya diperoleh secara askriptif (keturunan), etnik tidak sepenuhnya bersifat abadi (walaupun nampaknya demikian pada situasi konflik tertentu) karena batas-batas kelompok dapat berubah jika kelompok-kelompok itu terpecah-belah; bergabung dengan kelompok lain, mengalami erosi, bersatu, dan mendifinisikan dirinya kembali dari waktu ke waktu (sebagaian dilakukan dengan jalan manata atau menciptakan kembali mitos kesamaan asal-usul). Biasanya, jika batas-batas etnik tidak dipelihara melalui ciri-ciri fisik yang tegas, bisa ada sejumlah orang yang menyebrangi garis-garis batas etnik tersebut.
  4. (2) Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, Simon & Scuster, New York, 1996.
  5. (3) Konflik etnik yang hanya menyangkut perebutan materi seringkali lebih mudah diselesaikan melalui perundingan konvensional. Akan berbeda halnya apabila konflik etnik itu menyangkut konsepsi tentang moralitas (kebrenilaian) dan keabsahan.
  6. (4) Lebih jauh lihat dalam tulisan Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Nationalism, Ethnic Conflict and Democarcy, The John Hopkins University Press and The National Endowment for Democracy, 1994.
  7. (5) Karena pertimbangan akses data, tulisan ini hanya menampilkan data-hanya tindak kekerasan terhadap komunitas Kristen.
  8. (6) Wilk, Ricard, 1996, Economic and Cultures, Coilorado; Vewstview Press.
  9. (7) Saya kira semangat rekonsiliasi ini dikedepankan oleh Paus Paulus II ketika beliau meminta maaf atas kesalahan Gereja di masa lalu, baik pada kaum Yahudi maupun Gereja Ortodox.
  10. (8) Salah satu isu yang mendominasi dialog-dialog antar komunitas agama di Indoensia dan seringkali menimbulkan prasangka adalah isu Kristenisasi dan Islaminisasi. Sehingga perlu dikembangkan kembali dialog yang intensif mengenai dua isu ini.

Tidak ada komentar: