Oleh Anis Farikhatin*
1. Resiko Perkembangan Tehnologi Informasi Terhadap Pergaulan Remaja
Perkembangan tehnologi telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Tehnologi elektronik misalnya; telah mempermudah akses pada informasi tak terbatas. Akan tetapi di sisi lain memunculkan persoalan yang sangat komplek di segala lini kehidupan, terutama bagi remaja. Persoalan yang muncul bisa bersifat medis, psikologis, maupun sosial-ekonomi. Hal ini disebabkan karena banjir informasi yang mereka terima tanpa saringan tersebut tidak diikuti dengan kesiapan intelektual, mental dan spiritual yang memadai.
Salah satu akibat dari banjir informasi yang tidak dihadapi dengan segala kesiapan ini adalah pola pergaulan remaja yang cenderung semakin bebas seiring dengan sikap para orang tua dan masyarakat yang semakin permisif (longgar). Tak pelak lagi kebebasan pergaulan ini sering berujung pada kejahatan seksual. Gejala yang bisa dilihat adalah banyaknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, maraknya tempat praktek pengguguran kehamilan (unsafe abortion) secara ilegal serta munculnya trauma akibat berbagai bentuk kekerasan seksual dan persoalan sosial-ekonomi yang muncul akibat berhenti sekolah.
Jika dicermati lebih lanjut, kenyataan tersebut merupakan fenomena gunung es dimana yang terlihat hanyalah yang dipermukaan, sedangkan keadaan riil dibawahnya berlipat-lipat jumlahnya namun masyarakat tidak peduli dan abai dengan sikap dingin. Gejala tersebut akan terus menguat seiring dengan berkembangnya konsumerisme-hedonistik. Para remaja mulai terbawa pada suatu pandangan bahwa remaja harus memiliki pacar; dan berkencan dalam proses. Yang lebih mengejutkan lagi mereka sudah mulai setuju terhadap hubungan seks pra-nikah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap siswa yang duduk di bangku sekolah pada tahun 2004 yang menghasilkan informasi sebagai berikut:
1)Jumlah remaja sekolah (SLTP & SLTA) di DIY sebanyak 64.928 siswa. 2)Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan akan menikah mencapai 72,5 % siswa laki laki dan 27,5 % siswa perempuan.
Selain itu Synovate Research yang meneliti perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, sejak September 2004 (survey ini mengambil 450 responden dengan kisaran usia antara 15-24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah menghasilkan informasi sebagai berikut: 1) Pengalaman seksual remaja : 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13-15 tahun. 2) Mereka yang setuju terhadap hubungan seks karena alasan suka sama suka sebanyak 71.5% siswa laki laki dan 28,5 % siswa perempuan. Ketika para siswa tersebut ditanya mengenai proses terjadinya kehamilan, ada 86 % siswa baik laki laki maupun perempuan yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur (PSS PKBI 2004).
Jika kemudian ditanya lebih lanjut, siapa yang paling tidak berdaya menghadapi resiko dari pergaulan yang cenderung bebas tersebut? Jawabnya tentu saja perempuan. Bagaimana tidak, karena perempuanlah yang akan menanggung akibat paling berat, mulai dari pemaksaan, aborsi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) sampai HIV/AID. Keadaan ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan serta kekurang fahaman mereka tentang kesehatan reproduksi (kespro), khususnya masalah seksualitas. Hal tersebut diperparah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak memihak pada perempuan, seperti dikeluarkan dari sekolah bagi siswi yang kedapatan hamil. Keadaan seperti itu membuat kondisi kejiwaan mereka mudah rapuh sehingga mudah kehilangan jati diri, harga diri dan masa depan.
Sementara itu masyarakat dan para orang tua bersikap kurang peduli dan masih menganggap masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan. Tidak terkecuali para tokoh agama. Dalam masyarakat Islam menyelesaikan persoalan remaja lebih sering menggunakan pendekatan fiqih (hukum) yang menghakimi dari pada memberikan bimbingan, arahan yang bersifat dialogis solutif. Pemerintah juga terlihat kurang peduli karena menganggap permasalahan kesehatan reproduksi (kespro) masih dianggap belum serius dan tidak perlu menjadi prioritas karena sudah dianggap inhern dengan mata pelajaran agama, PPKn, IPS, dan biologi.
2. Pendidikan kespro sebagai solusi alternatif
Keadaan seperti di atas sudah mulai disadari oleh para orang tua dan juga guru, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan guru agama. Adapun tujuan pendidikan kespro adalah: 1) Memberikan dan mengelola pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi siswa. 2) Membangun sikap positif pada diri siswa untuk menghadapi persoalan seksualitas dan reproduksi 3) Membentuk perilaku siswa yang bertanggung jawab dalam konteks seksualitas dan reproduksi
Sekolah merupakan salah satu sektor pendidikan yang paling teroganisir dan mudah dikontrol. Upaya memasukkan materi kesehatan reproduksi ke dalam kelas merupakan sesuatu peluang berharga yang sangat memungkin untuk dilaksanakan meskipun dengan penerapan yang berbeda. Apalagi dengan mulai berlakunya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) memberi kesempatan yang luas bagi para guru untuk mengembangkan kreativitasnya dalam pembelajaran di kelas yang diampunnya.
Mengatasi masalah remaja yang terkait dengan masalah kesehatan dan reproduksi (kespro) merupakan masalah rumit dan kompleks. Ia tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja. Pendidikan kesehatan dan reproduksi bukanlah satu satunya ’jurus mabuk’ yang bisa menyembuhkan permasalahan remaja hanya dengan sekali pukul. Ia harus berjuang melalui berbagai kendala yang cukup menguras kesabaran mulai dari level birokrasi, level konsep, sampai pada level implementasinya di lapangan (proses pembelajaran di kelas). Terutama sekali pada level implementasi; karena setiap kegiatan pembelajaran akan berhadapan dengan masalah yang tidak kalah rumitnya, misalnya masalah kondisi (manajemen) tiap tiap sekolah yang berbeda; peserta didik yang berbeda latar belakangnya (ada SMK yang mayoritas putra/ putri, ada SMA yang komposisi siswa putra dan putrinya seimbang), situasi dan kondisi yang pada saat materi tersebut diajarkan, sarana apa yang diperlukan/ yang sesuai dengan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai, bagaimana pendekatan yang paling tepat digunakan dan sebagainya.
Dengan demikian. perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan,Dinas Pendidikan, BKKBN, PKBI, pemuka agama secara moril maupun materiil kepada para para guru pengampu materi kespro agar lebih mantap melangkah dengan penuh percaya diri.
3. Perlunya Pendidikan Kespro yang berorientasi pada nilai (Affective Oriented)
Pendampingan yang intensif melalui pertemuan rutin para guru pengampu untuk berbagi pengalaman sangat diperlukan untuk lebih melengkapi/ menyempurnakan materi, metode, media maupun pendekatan yang digunakan. Selain itu materi kesehatan reproduksi (kespro) perlu dikemas dengan strategi pembelajaran yang lebih berorientasi pada pendidikan affektif (nilai nilai).
Guru kespro dituntut untuk mampu menyajikan materi bukan sekedar untuk ”diketahui”; tetapi menjadi “nilai-nilai” yang diinternalisasikan dalam diri peserta didik agar mampu menjadi motivasi dalam bersikap, berbuat dan berperilaku secara kongkrit dalam kehidupan sehari hari. Tanpa hal tersebut pendidikan kespro hanya akan menyelesaikan masalah pada tingkat permukaan berupa menurunnya angka KTD (kehamilan yang tidak dikehendaki) dan aborsi (karena mereka tahu bagaimana melakukan savety sex); tapi tidak menyentuh pada akar persoalannya berupa pelecehan terhadap nulai-nilai hidup dimana aktifitas seksual tidak bisa hanya dimaknai sebagai rekreasi tetapi sesungguhnya mengandung nilai pro-kreasi di mana hidup harus dimuliakan. Untuk itu penting sekali pendidikan kespro diarahkan untuk menjadi bagian dari pendidikan untuk pemuliaan harkat dan martabat manusia melalui penguatan mental spiritual agar mampu berusaha menjadi manusia yang bertanggung jawab, terhormat dan membuktikan manusia sebagai mahluk yang mulia.
*Anis Farikhatin Pendidik di SMA PIRI 1 Jogjakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar