29 November 2007

TANTANGAN ZAMAN, KAUM MUDA DAN PENDIDIKAN AGAMA



Catatan lepas Pertemuan Forum Komunikasi Guru-Guru Agama - Bulan Oktober & Nopember 2007

Oleh:
purwono nugroho adhi
praktisi kerja budaya
katekis@yahoo.com

Tantangan yang menghadang
Modernitas zaman yang bergerak dengan langkah angkuh telah meninggalkan jejaknya yang membekas pada kegalauan dan disorientasi. Ketika ruang-ruang makna mulai bergeser pada wacana dan kesadaran yang bersifat praktis, dangkal dan ambivalen, mulailah orang bingung. Tampak wajah muda mulai cemas dihimpit kegalauan, ketika tiada lagi apa yang diacu. Dirinya hanya mampu bersandar pada wajah-wajah entertaining yang hanya menyediakan seklumit kata-kata kesenangan. Ketika pulang pun, mereka hanya bertemu dengan jalan-jalan yang dihiasi toko kelontong besar dan pancaran temaram lampu rave party. Seklumit kecemasan itu telah menusuk kedalam kalbu seorang ibu yang kesehariannya mengajar agama di SMA PIRI, dan tentu saja pada beberapa orang lainnya.
Pertanyaan kecil terkata dari bibirnya, "bagaimana sumbangan pendidikan agama menghadapi kecemasan ini,". Tentu saja, pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Ya, memang banyak cara yang perlu dikembangkan, salah satunya, bagaimana mengenalkan pengalaman hidup di seputar kaum muda untuk mengajak mereka memahami makna yang lebih mendalam. Tantangan zaman ini begitu besar, tidak sepantasnya pendidikan agama yang berorientasi pada nilai moralitas dan imani hanya memberikan dalil-dalil jawaban seperti layaknya ilmu eksakta. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajak kaum muda menemukan secara mandiri hidup mereka dengan persoalan yang tengah dihadapi, dengan pengalaman hidupnya dengan nilai-nilai agama.
Tantangan zaman telah merajut kekuatannya dengan segala media yang ada, dari cyber, televisi dan berbagai rajutan pola yang membentuk cara pandang orang muda. Tentu saja, hal ini juga menjadi tantangan bagi beberapa guru agama yang ada dipinggiran kota, seperti Bantul. Banyak cara yang dicoba diupayakan, tidak hanya di kota besar saja, karena rajutan media yang begitu menggurita telah membentuk cara baru dalam memandang. Memang, modernitas zaman jangan hanya dilihat sebagai yang negatif saja, karena zaman kaum muda tentu saja berbeda juga dengan zamannya para buyut mereka, ya atau para guru agama mereka. Maka, pengaruh modernitas perlulah dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman yang tidak dapat diatasi atau dimanfaatkan.
Tantangan modernitas apakah perlu diselami oleh guru agama zaman sekarang, hingga mereka harus melebur untuk mampu menyapa kaum muda. Itulah secarik pertanyaan yang dilematis. Tentu saja, bukan ngintir tetapi harus mampu "berenang" dalam riakan gelombang itu, hingga dengan jenaka, ada yang nyentil, " wah, guru agama apakah juga ikut mendem dulu agar mampu menyapa kaum muda?". Ya, tentu saja, yang paling penting guru agama harus mampu menyapa secara mendalam setiap pribadi yang unik sifatnya, dan banyak hal alternatif dan kreatifitas yang dapat dibuat.

Merangkai rajutan Pendidikan Agama yang progresif
Kaum muda merupakan "subyek" kajian yang begitu menarik. Menariknya, karena kaum muda mempunyai dunia yang khas, sarat dengan berbagai dinamika dan ruang kreatifitas yang beragam dan kompleks. Mareka bergerak dengan warna yang cerah, jiwa serta imaginasi yang begitu bebas dan sarat akan perubahan.
Mereka lahir dari dunia yang selalu membaca dengan mata pareto, apapun mereka baca dengan kata "lawan" , "cari yang lain daripada yang lain", "pilihlah warna yang kontras", dan lain sebagainya, yang penting "lain". Mata mereka yang pareto membuat mereka "tidak akan pernah jenak" dengan rutinitas dan konservatisme. Hal itulah yang membawa mereka bergerak menekan tombol religious doubt di kepala mereka, yaitu demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional menjadi ikon mereka.
Untuk itu, seorang guru agama dari SMA BOPKRI I mencoba mengayunkan langkahnya untuk membuat suatu yang berbeda mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman, seperti apa yang dilakukan di SMA PIRI, dicoba diterapkannya dengan gagasan yang kreatif, hingga seringnya ia dicap "ateis", karena dinilai "kebablasan" dalam mengemas pendidikan agama. Namun, gayung progresifitas pasti bersambut, ketika disadari, bahwa guru harus merdeka dari tekanan dan penjara sistem pendidikan yang konvensional agar selalu dapat memperkembangkan visinya.
Pendidikan agama hendaknya dimulai dari apa yang selalu menjadi pertanyaan eksistensial hidup. Kaum muda perlu disapa dari apa yang paling ultim dari dirinya, pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dari hidup mereka yang berwarna-warni itu. Untuk itu, seorang pastur Jesuit dari Sanata Dharma, mencoba membagikan sebuah pendekatan yang bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan agama, yaitu pendekatan psikologis pendampingan pengembangan diri.
Pendidikan agama yang mampu menyapa hati kaum muda secara mendasar itulah yang diusahakan. Harapannya, segala pertanyaan soal hidup yang selalu menjadi muara dalil-dalil agama tidak hanya dibingkai secara formalistik, tetapi sungguh dimulai dari kerinduan yang paling ultim dari setiap individu. Sehingga diharapkan pendidikan agama perlu mencari pendekatan-pendekatan yang progresif dan kreatif agar menjadi salah satu ruang bagi kaum muda memandang, melihat merefleksikan dan bertindak atas hidup mereka.
Sehingga pertanyaan dari seorang aktivis Dian Interfidei, sebarapa jauh kaum muda mampu secara konsisten, dewasa dan utuh mempunyai nilai-nilai yang diacu untuk hidupnya yang penuh tantangan oleh disorioentasi nilai di zaman sekarang ini dapat mereka temukan dari sebuah jalan kecil pendidikan agama, sebuah jalan kecil bermula dari kegelisahan forum guru-guru agama di Yogyakarta ini. Tentu, forum ini perlu terus belajar untuk merajut pemikiran-pemikiran progresif bagi secarik catatan kecil dari sebuah peta besar pendidikan di Indonesia, secara khusus pendidikan agama.
Bravo, guru-guru agama, ditanganmulah,
ada langkah kecil untuk mengenalkan langit di kaki dunia yang galau ini
bagi insan muda yang memegang tongkat estafet
masa depan Indonesia


02 November 2007

SEKILAS SEJARAH PERKEMBANGAN CHOICE


Oleh: Romo HJ Suhardiyanto, SJ

Kaum muda sering dikatakan sebagai tulang punggung dari suatu bangsa. Kepadanya sering dituntut untuk bertanggung jawab atas suatu keadaan. Kita sadari bahwa kemajuan suatu bangsa akan bergantung pada perkembangan kaum mudanya. Karena oleh diri merekalah keadaan nanti akan diubah. Pada dirinyalah keadaan akan bergantung. Namun demikian banyak problema yang ternyata harus dihadapi oleh kaum muda.

Kaum muda sedang dalam perkembangan fisik, mental, emosional, moral dan religius. Perkembangan yang dimaksud di sini adalah perkembangan fisik, perkembangan kesadaran psikologis dan perkembangan kesadaran religius. Perkembangan fisik jelas nampak pada diri kaum muda di usia sekolah menengah, di mana fisik mereka sedang tumbuh-tumbuhnya menuju ke kondisi fisik dewasa. Pertumbuhan ini membuat kaum muda yang laki-laki akan semakin
menampakkan diri sebagai pria dan kaum muda yang perempuan akan semakin tampil sebagai wanita. Dalam hal ini fisik wanita lebih cepat mencapai kedewasaannya daripada fisik pria. Akibat dari perubahan ini, tidak jarang timbul keresahan atau kecemasan dalam diri mereka. Keadaan fisik mereka semakin dewasa, dimana mereka siap secara fisik untuk berhubungan secara sexual, namun dari segi mental dan psikologis mereka belum siap. Mereka belum siap untuk memasuki pergaulan dengan lawan jenis dalam rangka hidup perkawinan dengan segala konsekuensinya termasuk di dalamnya mempunyai, memelihara dan mendidik anak yang menjadi buah perkawinan tsb. Perkembangan mental, kaum muda menampakkan gejala-gejala perubahan kemampuan intelektual, menjadi lebih kritis. Perkembangan emosional kaum muda tampak pada semangat mereka yang meletup-letup, perpindahan gejolak hati yang cepat, munculnya sikap-sikap masa bodoh, keras kepala dan tingkah laku yang tidak jarang memberi kesan hingar bingar. Hal ini membuat mereka lama-kelamaan dapat juga menangkap emosi orang lain dan memahami berbagai kata yang berhubungan dengan perasaan-perasaan positif, seperti : bahagia, puas, berani, cinta, optimis, percaya diri, terharu dll. Demikian pula dengan perasaan-perasaan negatif, seperti : sedih, marah, pesimis, kecewa , frustrasi dan lainnya.
Perkembangan religius menyangkut hubungan dengan "Yang Mutlak" (sebutan untuk - Nya). Kaum muda mulai bertanya tentang makna segala sesuatu. Maka akan timbul pertanyaan : "Adakah hidup ini berarti ?" Setelah melalui proses pencarian jawabannya, kaum muda menemukan suatu penggambaran mengenai "Yang Mutlak", yakni suatu penggambaran Allah sebagai Pribadi yang ideal, sempurna dan sekaligus sanggup menolong mereka dalam menghadapi masalah dan kesulitan dalam upaya mewujudkan cita-cita mereka. Seperti halnya manusia pada umumnya, kaum muda juga mempunyai keinginan untuk selalu berhasil dalam hidupnya. Keinginan untuk dihargai, dihormati dan disenangi. Kaum muda ingin dianggap dewasa, ingin diterima dan dicintai. Semua ini menjadi kerinduan pokok kaum muda dalam proses penemuan jati dirinya. Kerinduan pokok itu menjadi kebutuhan dasar dari segi perasaan, sama halnya dengan kebutuhan akan makanan, minuman, tidur yang merupakan kebutuhan pokok dari segi fisik. Namun demikian dalam kenyataannya, kerinduan - kerinduan tersebut tidak semua dan selamanya bisa terwujud.

Dalam proses penemuan jati diri dan pemenuhan kerinduan pokoknya, kaum muda pada umumnya menghadapi beberapa problem. Problem-problem tersebut pada umumnya problem yang berhubungan, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dengan kegagalan hidup, dengan perasaan kurang dihargai, perasaan kurang diterima ke-aku-an dan keberadaanya. Bila pengalaman-pengalaman yang negatip ini menumpuk akhirnya akan timbul sikap masa bodoh dalam diri mereka, karena mereka merasa tidak "dimiliki oleh .." oleh orang lain dan dengan demikian juga tidak punya rasa memiliki.. atas yang ada disekitarnya, termasuk orang tua dan orang-orang lainnya. Selanjutnya akan mudah pula timbul dalam diri mereka sikap yang cenderung melakukan hal-hal yang tak terpuji dan tak terarah.

Pastor Tom Morrow, seorang Pastor Paroki di Amerika Serikat dan juga salah seorang anggota Tim ME merasakan dan menemukan keadaan yang memprihatinkan ini dari sharing-sharing para pasutri yang didampinginya.

Maka mulailah Pastor ini mendekati mereka dan mulailah diadakan pertemuan-pertemuan yang membahas dunia kaum muda. Pendekatan terhadap kaum muda dikembangkan melalui kemurahan hati dan cinta sejati para keluarga yang pernah mengikuti Week End ME. Ini merupakan usaha untuk berbagi Rakhmat, berkat, penemuan-penemuan dan kesadaran bahwa
Allah Bapa kita telah mengarahkan kita untuk mengalami-Nya, sebagai Bapa yang baik dan penuh cinta. Hari dimana akan ada kontak dan interaksi di antara seluruh anggota Gereja perlu diusahakan dan direncanakan secara sistematis.

Pastor Tom Morrow berusaha mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan kaum muda. Dari beberapa kali pertemuan yang diadakan, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya kaum muda mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dalam arti komunikasi yang cukup mendalam dengan teman sebayanya, terlebih dengan orang tua dan saudaranya.

Dari diskusi-diskusi yang diadakan itu Pastor Tom Morrow sadar bahwa kaum muda membutuhkan keterlibatan dengan orang lain dan mengungkapkan adanya suatu keinginan yang kuat atas rasa kebersamaan. Mereka membutuhkan "a strong sence of belonging".
Untuk inilah Pastor Tom Morrow ingin melibatkan kaum muda sebagai individu yang aktif, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarganya, kelompoknya, paroki, Gereja serta masyarakatnya.

Usaha Pastor Tom Morrow ini mendapat dukungan dari Pastor Chuck Gallagher, seorang imam yang tidak asing lagi dalam kalangan ME bersama beberapa pasangan suami-istri lainnya. Kerja keras mereka inilah yang akhirnya melahirkan suatu Program Week End yang disebut "Week End Choice" (WEC). Setiap orang memiliki kemampuan untuk membantu meningkatkan dan menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam relasi personal, hubungan yang sungguh-sungguh bersifat pribadi. Dari semua itu harapan dan impian yang ada adalah, bahwa 'semuanya akan bisa menjadi satu' keluarga seiman, sesama anggota Gereja.
Choice merupakan sarana, alat bagi kaum muda agar mereka dapat mengembangkan dirinya untuk bisa berbuat sesuatu yang berarti / positip dalam hidupnya. Choice merupakan usaha menjawab masalah kaum muda yang menanyakan kembali dasar-dasar atau sendi-sendi kekeluargaan dan persaudaraan tradisional dalam masyarakat atau Gereja yang digoyahkan oleh pergeseran nilai dan praktek hidup yang individualistis dan sekularistis sebagai dampak
dari macam-macam perkembangan dunia dewasa ini. Choice akan membantu kaum muda untuk mampu membuat keputusan berbuat sesuatu yang benilai dalam hidupnya. Choice bermaksud membantu kaum muda dalam menciptakan kondisi, dimana mereka bisa merasa menjadi bagian dari ....., merasa ikut memiliki ....serta dimiliki oleh............

Dengan demikian diharapkan perasaan yang tadinya hambar, acuh tak acuh, tidak merasakan adanya perhatian dari fihak lain, tidak mau melibatkan diri, merasakan hubungan pribadi mereka dengan orang lain terasa dingin dan dangkal ( sekedar hubungan kerja, hubungan bisnis atau hubungan organisasi), akan dapat menjadi lebih hangat berkat adanya Choice, sehingga komunikasi pribadi mereka dapat timbal balik terjadi dan dengan adanya kemesraan, pembicaraan yang menyentuh masalah pribadi dapat pula terjadi sehingga relasi yang pernah ada akan dapat menghangat kembali.

Choice mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok, yakni :
  1. Membantu para muda - mudi menghayati pentingnya 'belonging' (menjadi bagian hidup orang lain) dalam relasi-relasi mereka. Choice mengajak sekaligus menantang kaum muda dengan pertanyaan dasar, "Apakah anda mau menjadi bagian hidup orang lain?". Choice membantu mereka menyadari pentingnya relasi yang baik dengan orang tua, saudara dan teman-teman. Keputusan untuk memperdalam dan/atau memulihkan relasi yang akrab adalah inti tujuan Choice; Kata 'Choice' sendiri berarti keputusan atau pilihan.
  2. Menciptakan suasana dan iklim pendukung agar para Choicer dapat saling percaya dan dapat berkomunikasi secara mendalam dengan teman seusia dan dengan orang Katolik yang lebih tua. Choice mau meningkatkan mutu komuniasi dan kepercayaan antara muda-mudi, karena pengalaman semacam inilah yang dapat membantu mereka untuk memperbaiki kepercayaan serta komunikasi dengan orang tua, saudara dan teman-teman mereka.
  3. Menyemangati para peserta untuk menyadari tugas agama dan peranan mereka dalam tugas missioner agama itu, sehingga akhirnya mereka menjadi warga agama yang lebih giat dan terlibat, baik dalam lingkup agama ataupun masyarakat kampungnya, maka Choice berusaha membuka dan mengembalikan (mengingatkan) ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan mereka.

Untuk menjadi bagian hidup dari orang lain bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan syarat-syarat dan kesediaan untuk menerima/menanggung konsekwensi untuk betul - betul menjadi bagian hidup orang lain. Kaum muda mau diajak menyadari dan menemukan tempatnya dalam kelompok : keluarga, kampus/sekolah, jemaat beriman ataupun masyarakat kampungnya. Selain itu kaum muda akan diajak untuk menyadari diri sebagai bagian dari Umat Allah, dengan ikut ambil bagian dalam tugas dan misi agama (menghadirkan Kerajaan Allah dan mau melibatkan diri dalam karya-karya keagamaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, setelah semua session dilalui oleh para Choicer, diadakanlah Upacara Pengutusan.

Karena mereka adalah orang Kristen/ Nasrani, maka mereka diutus untuk ikut terlibat dalam karya Gereja. Program WEC yang diciptakan oleh Pastor Tom Morrow beserta anggota Tim ME lainnya, tidak begitu saja dapat dengan mudah menggelinding. Program ini telah berkali-kali desempurnakan setelah beberapa kali pelaksanaan yang dievaluasi dan dianalisa. Program yang pada awalnya diciptakan untuk menjawab masalah yang dilihat oleh Pastor Tom Morrow , yaitu banyaknya tindakan - tindakan kaum muda di Amerika yang cenderung kurang terarah, kini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri mengenal Choice pada bulan Februari 1982 di mana pada waktu itu Pastor Ismartono, SJ, Pastor Susilo, MSC. dan Pasutri Ivo-Lia diutus oleh pengurus ME (Mariage Encounter) Indonesia ke Singapura untuk mengikuti Week End di sana. Peserta dari Jakarta inilah yang akhirnya mengadakan Week End Choice pertama pada bulan Desember 1982, setelah sebelumnya mereka bekerja keras untuk menerjemahkan lembaran-lembaran peserta yang dibagikan ke pada para peserta, mengurus pendaftaran, mencari dana, serta mencari tempat pelaksanaan Week End dan sebagainya. Dari Jakarta, Choice menyebar ke kota-kota di Indonesia lainnya, seperti Padang, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Solo dan Magelang.
Yogyakarta menyelenggarakan Week End Choice pertamanya pada bulan Maret 1985, dengan Tim Romo Paul, OMI., Sr. Theresia, JMJ, Pasutri Ernest-Sri, Priyo dan Ika di Sangkal Putung. Peserta pertama inilah yang akhirnya mau dan akhirnya membagi-bagikan nilai-nilai yang mereka rasakan dan peroleh sehingga akhirnya mereka membentuk Tim Choice Yogyakarta.

Choice bukanlah organisasi, melainkan suatu gerakan. Sedangkan Tim Choice adalah wadah dari sejumlah kecil choicer yang berhimpun dan dihimpun untuk selanjutnya membagikan yang mereka dapatkan dalam Week End untuk diberikan kembali dengan menyelenggarakan Week End Choice bagi kaum muda lain. Tim ini memiliki struktur organisasi dan dijalankan dengan prinsip-prinsip organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan atau pendampingan kepada peserta WEC dan follow-upnya. Meskipun Choice bukan suatu organisasi, tetapi mempunyai lambang yakni sebentuk jantung hati dan salib. Jantung hati melambangkan pribadi kita masing-masing dengan segala kemampuan untuk mencinta dan dicintai. Kata Choice di dalam jantung hati mau membangkitkan kemampuan memilih untuk menjadi bagian hidup (belonging) dan terlibat dalam hidup orang lain. Salib melambangkan Yesus Kristus, mau mengingatkan akan pola hidup-Nya yang rela berkurban demi cinta kepada umat manusia, yang seharusnya menjadi pola pengikutnya pula dalam bertindak.

Sedangkan mottonya :
Mengenal, mencintai dan mengabdimu
( sesama dan Allah )
terindah dalam hidupku.